لَوْ كَانَ الْعِلْمُ بِالثُّرَيَّا لَنَالَهُ رجال مِنْ فَارِسَ
Jikalau
adalah Ilmu dilangit yang tinggi, pasti jua dapat digapai oleh para lelaki
farisi.
Begitulah Bunyi pernyataan Rasulullah Saw. yang menurut sebahagian ulama
dimaksudkan sebagai pujian terhadap Imam Abi Hanifah dan murid-muridnya.
Begitulah kemulian Imam mujtahid Muthlaq ini.
Nama lengkap beliau adalah Abu Hanifah An-Nukman
bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H., pada masa
pemerintahan Abdul Al-Malik ibn Marwan, Dinasti Umayyah. Abu Hanifah dilahirkan
di tengah keluarga Persia dan diberi nama “An-Nukman” sebagai kenangan
akan nama salah seorang Raja Persia dimasa silam. Abu Hanifah masih mempunyai
pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib Ra.. Saidina Ali
bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, agar Allah memberkahi keturunannya.
Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in,
generasi setelah Sahabat Nabi, karena beliau pernah bertemu dengan salah
seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis dari beliua
serta sahabat lainnya. Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali
menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah),
shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya
seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Imam Abi Dawud, Imam Bukhari, Imam
Muslim dan Lainnya.
Ayah Abu Hanifah adalah seorang pedagang besar.
Sejak kecil, Abu Hanifah selalu bekerja membantu ayahnya. Beliau selalu
mengikuti ayahnya ke tempat-tempat perniagaan. Di sana beliau turut berbicara
dengan pedagangpedagang besar sambil mempelajari pokok-pokok pengetahuan
tentang perdagangan dan rahasia-rahasianya. Demikian yang dilakukannya seharihari
hingga saat ada seorang ulama fikih bernama asy-Sya’bi melihatnya dan
menyarankan agar ia mengalihkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan.
Sejak usia kanak-kanak, Abu Hanifah menyaksikan
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh al-Hajaj, Gubernur Irak, dan pembasmian
yang dilakukannya terhadap siapa saja yang berani menentang penguasa Bani
Umayyah, tidak peduli apakah mereka itu ulama ahli fikih kenamaan atau tidak.
Oleh karena itu tidak aneh jika sejak kecil beliau sudah mengenal tingkah laku
para penguasa Bani Umayyah dan mencela keras penindasan yang mereka lakukan.
Dalam hati kecilnya, Abu Hanifah menolak dan menentang keras kesewenang-wenangan
mereka. Dari ayah dan bundanya, beliau mewarisi perasaan cinta kepada Ahlul
Bait Rasulullah saw.
Pada masa itu, tidak ada orang yang
menghembus-hembuskan perbedaan antara muslim yang berkebangsaan Arab dan bukan
Arab. Tidak ada yang mendapat perlakuan yang istimewa selain para anggota Ahlul
Bait Rasulullah Saw.. Keyakinan seperti itu Sudah bersemayam di dalam lubuk
hati Abu Hanifah, terutama setelah beliau mengenal para imam di kalangan
mereka, setelah beliau menimba pengetahuan dari mereka, dan setelah beliau
menyaksikan sendiri berbagai bentuk penindasan yang dilancarkan siang malam
oleh para penguasa Bani Umayyah terhadap mereka.
Pada suatu hari ketika beliau sedang menfatwakan
suatu hukum fikih di Madinah, sambil duduk beliau melihat Imam Ja’far Asy-Sadiq
turut mendengarkan sambil berdiri. Seketika itu Imam Abu Hanifah berkata,
”wahai putera Rasulullah Saw., Allah Swt. tidak suka melihatku duduk
sementara engkau berdiri.”
Abu Hanifah menumpahkan kegiatannya pada ilmu
pengetahuan. Beliau menghubungi sejumlah ulama dan tidak pernah meninggalkannya
hingga akhir hayatnya. Dengan kesungguhan dan ketekunannya Beliau terus-menerus
belajar. Sementara itu, banyak pula orang lain yang menimba ilmu pengetahuan
darinya. Bidang kegiatan baru itu menguras semua kesanggupan, kecerdasan, dan
kepandaiannya. Abu Hanifah berguru kepada Imam Hammad ibn Abi Sulaiman, yang
jika ditarik ke atas maka akan sampai kepada Imam Ali bin Abi Thalib Ra. Selain
itu, beliau juga banyak menimba ilmu dari Imam Ja’far Ash-Shadiq.
Abu Hanifah selalu mengikuti kelompok-kelompok
pendidikan yang diselenggarakan oleh para ulama di dalam Masjid Kufah. Di sana
ada yang mempelajari ilmu kalam (Tauhid) dan yang mempelajari Hadis-hadis Nabi
saw.. dan Ada juga yang mempelajari ilmu fiqh. Akan tetapi, yang terbanyak
adalah mempelajari al-Quran al-Karim. Selanjutnya beliau terus menuntut ilmu
pada kelompok-kelompok pendidikan (halaqah) yang ada di kota Basrah.
Perhatiannya tertarik pada kelompok diskusi para ulama ahli ilmu kalam, karena
di kelompok ini selalu ada diskusi dan perdebatan hangat yang dirasa dapat
memuaskan jiwa mudanya.
Selama kurun waktu tertentu, Abu Hanifah tetap
mengikuti diskusi kelompok para ahli ilmu kalam, tetapi kemudian berpindah ke
halaqah yang lain. Setelah mencapai tingkat kematangan, beliau mengetahui
dengan jelas bahwa kaum salaf (kaum muslim generasi pertama atau para Sahabat
Nabi Saw.) adalah orang yang paling banyak mengetahui dan menguasai dasardasar
ilmu Aqidah, namun mereka tidak pernah memperdebatkannya. Perdebatan
tentang itu tidak mendatangkan kebaikan apapun. Oleh karena itu, beliau
berpendapat lebih baik menumpahkan perhatiannya pada pendalaman al-Quran dan
Hadis.
Pada mulanya, beliau tekun menimba ilmu kepada
beberapa orang guru di Masjid Kufah. Akan tetapi kemudian, beliu berguru kepada
seorang ulama saja yaitu kepada Imam Hammad ibn Abi Sulaiman. Apabila karena
suatu keperluan sang guru bepergian meninggalkan Kufah, sebelum berangkat ia
lebih dulu mengangkat Abu Hanifah sebagai guru penggantinya untuk mengajar di
dalam halaqah hingga saat beliau pulang.
Sebenarnya Abu Hanifah ingin mengadakan halaqah
tersendiri. Akan tetapi, pada waktu beliua mewakili gurunya banyak peserta yang
menanyakan kepadanya berbagai masalah yang belum pernah mereka ajukan sebelumnya.
Enam puluh masalah (kasus) yang ditanyakan, beliau jawab semua. Ketika gurunya
sudah pulang dari Kufah, semua jawaban yang diberikannya dalam halaqah
disampaikan kepada gurunya. Ternyata dari enam puluh masalah, hanya empat puluh
saja yang disetujui dan dibenarkan oleh gurunya, sedangkan dua puluh lainnya
bertentangan dengan pendapat gurunya. Setelah Abu Hanifah mengetahui hal itu,
beliua bersumpah tidak akan berpisah dengan gurunya hingga akhir hidupnya.
Ketika gurunya wafat, Abu Hanifah masih berusia 40
tahun. Dengan sendirinya, beliua sekarang menjadi guru dalam halaqah,
menggantikan gurunya yang telah tiada. beliau juga banyak menimba ilmu dari
para ulama yang lain dalam perjalanannya berulang-ulang ke Basrah dalam
kesempatan menunaikan ibadah haji di Makkah, dan dalam kesempatan berziarah ke
makam Nabi Muhammad Saw di Madinah.
Ketika berada di Madinah, Imam Abu Hanifah
berdiskusi dengan Imam Malik ibn Anas tentang beberapa masalah yang menimbulkan
perbedaan pendapat. Dalam diskusi tersebut, hadir Imam al-Layts ibn Sa’ad dari
Mesir, yang hidup sezaman dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq, Imam Abu Hanifah, dan
Imam Malik ibn Anas. Terjalinlah persahabatan dengan sebagian dari mereka. Akan
tetapi bersamaan dengan itu, meledaklah pertikaian dengan sebagian yang lain.
Ketika itu, ayah Abu Hanifah telah wafat dan
meninggalkan warisan di Kufah berupa sebuah toko besar, tempat
memperjualbelikan berbagai kain sutera. Toko ini sudah sangat terkenal. Abu
Hanifah berniat hendak bersyirkah (bekerja sama) dengan pedagang lain,
karena dengan cara itu ia mempunyai cukup waktu untuk terus menuntut ilmu dan
mendalami pengetahuan tentang soal-soal agama, hingga dapat leluasa mendayagunakan
akal pikirannya dalam ber-istinbath, mencari kebenaran hukum.
Imam Abu Hanifah adalah seorang yang zuhud dan juga
pandai. Imam Abu Hanifah sering sekali dapat keluar dari kesukaran dengan
kecepatan berfikirnya, dan dengan hujjah yang luas. Ketangguhannya dalam
mempertahankan dan membela pendapatnya, penghormatan yang diperoleh dari para penguasa
yang lebih mengutamakan dirinya dari pada para ahli fikih bayaran, semua itu
membangkitkan kedengkian dan iri hati dalam hati mereka. Mereka mengipas-ngipas
kalangan yang berkuasa untuk menjatuhkan martabatnya dan berusaha hendak
menjebloskannya ke dalam perangkap. Diantara yang memusuhi Imam Abu Hanifah
adalah Ibn Abi Layla dan pengikutnya Sabramah.
Imam Abu Hanifah meninggal pada bulan rajab tahun
150 H atau 767 M. Beliau meninggalkan banyak murid. Abu Mahasin Syafi’i membuat
daftar murid Imam Abu Hanifah sebanyak sembilan ratus tiga belas orang. Namun,
yang paling terkenal adalah Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani, dan
Zufar.
(Sumber:
referensimakalah.com, kitab Tuhfatul Murid, dan Wikipedia)
Related Posts :