Dalam al-Hawi li al-Fatawi
disebutkan, bahwa Ulama dulu dan ulama sekarang berbeda pendapat mengenai mana
yang lebih baik antara orang kaya yang bersyukur atau atau orang miskin yang
sabar. Pendapat pertama orang fakir yang sabar lebih baik daripada orang kaya
yang bersyukur, pendapat kedua menyatakan sebaliknya, dan menurut pendapat
ketiga lebih baik Kafaf (sederhana). Pendapat inilah yang mukhtar
(terpilih)
Menurut Imam Junaid
al-Baghdadi orang fakir yang sabar lebih baik, karena orang yang menyakiti
nafsunya tidaklah sama dengan orang yang menyenangkan nafsunya, namun Imam
Ibnu Atha’ berpendapat orang kaya yang bersyukur lebih baik daripada orang
fakir yang bersyukur, karena Ghani (kaya) adalah salah satu sifat dari
sifat – sifat Allah.
Berkata Syaikh Izzuddin bin
Abdissalam: “Manusia ada beberapa macam, yang pertama orang yang menjadi lurus apabila hidup kaya
dan hidupnya rusak apabila fakir, maka tidak ada perselisihan bahwa kaya untuk
orang ini lebih baik. Yang kedua orang yang hidupnya lurus apabila fakir tetapi
hidupnya rusak apabila kaya, dan kekayaan membawanya kepada kedhaliman, maka
fakir bagi orang seperti ini lebih baik. Yang ketiga orang yang apabila fakir manjalankan
keharusan – keharusan orang fakir seperti ridha dan sabar, apabila kaya ia melakukan
keharusan – keharusan orang kaya seperti bersedekah, berbuat kebaikan, dan
bersyukur kepada Allah Swt. Ulama berbeda pendapat mengenai orang seperti ini.
Sebahagian ulama berpendapat fakir tetap lebih baik bagi orang tersebut, ada
juga yang berpendapat lebih baik kaya, karena Nabi Saw. berlindung dari
kefakiran, dan fakir (yang disebut oleh Nabi) tidak boleh dimaknai fakir jiwa,
karena memaknai seperti itu berlawanan dengan dhahir (yang tersurat dari
kalimat) dengan tidak ada dalil.”
Imam al-Qurthubi
mengatakan: “Dalam hal ini ada lima pendapat Ulama, menurut pendapat yang
ketiga lebih baik Kafaf (sederhana), pendapat keempat mengatakan tergantung
keadaan seseorang, pendapat kelima Tawaqquf (tidak menguatkan salah satu
pendapat yang berlawanan dalil – dalinya)”
Hidup dengan kekayaan berlimpah
memang sagat dekat kepada keburukan, karena dapat menjerumuskan pemiliknya ke
lembah nista jika si pemilik tidak bisa memaknai kekayaannya dengan bijak. Bahkan
Rasulullah Saw. khawatir para sahabatnya jatuh kedalam persaingan mengumpulkan
harta sebagaimana dalam sabda beliau:
أَبْشِرُوا وَأَمِّلُوا خيرًا فوالله ما الْفَقْرَ
أَخْشَى عَلَيْكُمْ ولكن إذا صبت عليكم الدنيا صبًّا فَتَنَافَسُوهَا كما تنافسها
من كان قبلكم
Artinya: Bergembiralah dan
berharaplah kebaikan, demi Allah bukan kemiskinan yang aku takutkan pada
kalian, tapi aku takut dunia dibentangkan untuk kalian, lalu kalian memperlombakannya
sebagaimana orang – orang sebelum kalian memperlombakannya. (HR. Imam
Ahmad)
Berharaplah pada Allah Swt. supaya dibukakan pintu rizki yang sesuai dengan
keadaan kita, artinya Allah akan memberikan kekayaan jika kita benar – benar
mampu berbuat baik, bersedekah, dan selalu bersyukur kepada Allah. Allah akan
membiarkan kita jadi orang fakir apabila memang itu yang terbaik, atau Allah
akan menjadikan hidup kita sederhana, yaitu tidak lebih dan tidak kurang,
sehingga kita bisa beribadah dengan tenang, dan aman dari terjatuh ke dalam
kesombongan. Hidup sederhana pernah dipuji Oleh Rasulullah Saw. dalam beberapa
hadits beliau, antara lain:
خير الرزق ما كان يومًا بيوم كفافًا
Artinya:
Sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi dari sehari ke sehari
(ad-Dailami)
إن الله إذا أحب عبده جعل رزقه كفافًا
Artinya:
Sesungguhnya Allah Swt. Apabila mencintai seorang hamba, Ia memberi rizki
kepadanya secukupnya. (HR. Abu Syaikh)
أفلح من هُدِىَ إلى الإسلام وكان عيشه كفافا وقنع
به
Artinya:
Kemenangan bagi orang yang dihidayahkan kepada Islam, dan kehidupannya
sederhana serta ia merasa berkecukupan (HR. At-Thabrani)
Imam
al-Manawi menjelaskan, makna “Kafaf” pada hadits tersebut ialah
diberikan rizki sekedar keperluan, tidak lebih dan tidak kurang
[1] Al-Hawi li
al-Fatawi, Imam as-Sayuthi, II/295, al-Maktabah asy-Syamilah
[2] Al-Hawi li
al-Fatawi, Imam as-Sayuthi, II/295, al-Maktabah asy-Syamilah
[3] Al-Hawi li
al-Fatawi, Imam as-Sayuthi, II/295, al-Maktabah asy-Syamilah
[4] Begitulah makna waqf
(tawaqquf) menurut kitab al-Hudud al-Aniqah, I/75 al-Maktabah asy-Syamilah
[5] Al-Hawi li
al-Fatawi, Imam as-Sayuthi, II/295, al-Maktabah asy-Syamilah
[6] Jami’ al-Ahadits.
Hadits ke: 152, al-Maktabah asy-Syamilah
[7] Jami’ al-Ahadits.
Hadits ke:12056 al-Maktabah asy-Syamilah
[8] Jami’ al-AHadits.
Hadits ke: 6636 al-Maktabah asy-Syamilah
[9] Jami’ al-Ahadits.
Hadits ke: 4118 al-Maktabah asy-Syamilah
[10] Faidhu al-Qadir,
II/18, al-Maktabah asy-Syamilah
Related Posts :