Manaqiban
berasal dari kata Manaqabah yang berarti budi pekerti mulia, jamaknya
adalah Manaqib, dari kata manaqib inilah kemudian muncul istilah
Manaqiban yang berarti pembacaan kisah-kisah orang shaleh.
Tradisi
Manaqiban memiliki payung hukum yang kuat dan jelas. Sebagaimana firman Allah
Swt.:
Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu,
ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat Ini
Telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman. (QS. Al-Hud, 120)
Meskipun ayat ini secara tekstual hanya menyebutkan kisah teladan para Rasul
sebelum Nabi Muhammad Saw., namun bukan berarti al-Quran hanya memuat kisah
para Rasul saja, akan tetapi al-Quran juga memuat kisah para mu’minin dan
shalihin. Seperti kisah Maryam yang melahirkan Nabi Isa As. tanpa seorang Ayah
dalam surat Maryam ayat 16-25, kisah ketabahan Asiah binti Mazahim dalam
mempertahankan keimanannya kepada Allah Swt. Dengan menerima siksaan suaminya,
Fir’aun dalam surat at-Tahrim ayat 11. Begitu juga kisah para Ashabul Kahfi,
sekelompok pemuda yang melarikan diri dari seorang raja zhalim yang memaksa
mereka pindah agama sebagaimana tertulis dalam surat al-Kahfi ayat 9-22 dan
semisalnya.
Oleh karena itu, ayat 120 surat Hud diatas menjadi bukti nyata legalitas
tradisi manaqiban yang didalamnya diceritakan kisah teladan orang-orang shalih
dan para waliyullah. Manaqiban juga mengandung kebenaran, mauidhah dan
pengingat yang bermanfaat bagi orang yang beriman selaras dengan semangat ayat
tersebut. Bahkan dalam sepenggal maqalah masyhur disebutkan: “’inda zikri
ash-shalihin tanzilu ar-rahmah” (saat disebut orang-orang shaleh akan turun
rahmat).
Meskipun status dari pernyataan ini masih dipersangketakan ulama, seperti
al-Ghazali yang menganggapnya sebagai hadits, al-Qari yang menganggapnya “kemungkinan”
sebagai hadits, serta ulama lain semisal adz-Dzihabi dan al-Iraqi yang
menilainya hanya sebagai maqalah Imam Sufyan bin Uyainah (107-198 H), salah
seorang guru Imam Syafi’i dan ulama besar kita mekkah generasi Tabi’ Tabi’in.
Kendati begitu, mereka tetap mengamini keabsahan maknanya. Dalam Maqashid
al-Hasanah, as-Sakhawi mengisahkan dialog dua orang shaleh, yakni Abu Umar
bin Najid dan Abu Ja’far bin Hamdan. Abu Umar bertanya kepada Abu Ja’far;
“Dengan niat apa (seharusnya) aku menulis hadits?”
Abu Ja’far menjawab: “Apakah tidak kalian saksikan saat mengingat
orang-orang shaleh akan turun rahmat”
“Ya, kami saksikan!” Jawab Abu Umar
“Jika memang demikian, maka Rasulullah Saw. Adalah pemimpin para shalihin”,
tagas Abu Ja’far.
Rasionalnya, dengan sering bergaul dengan orang-orang shaleh, maka dengan “cermin”
budi pekerti luhur mereka, kita akan tergerak menyadari berbagai kekurangan,
kealpaan, dan kebodohannya. Bahkan dengan mendengar atau menyimak kisah teladan
mereka, dalam hal ini termasuk manaqiban, seseorang akan membangkitkan diri
berbuat yang terbaik, menyesali kesalahan-kesalahan dan menggantinya dengan
amal shaleh semakasimal mungkin. Tiada lain, hal ini adalah salah satu wujud
rahmat Allah Swt. yang diturunkan kepadanya.
Sementara dalam pandangan ulama-ulama sufi, mereka sangat memperhatikan
kisah teladan para kekasih Allah Swt. demi menggapai prestasi regilius yang
lebih baik. Seperti penuturan Imam Junaid sebelum menuturkan ayat diatas
sebagai dalil manaqiban, beliau berkata; al-Hikayatu Jundun min Junudillah
yaqwi biha qulubul muridin” (Kisah-kisah teladan adalah satu pasukan dari
pasukan-pasukan Allah Swt. Yang dapat mengokohkan hati para muridin).
Bahkan jauh sebelum Imam Junaid (w. 297 H.) berkata demikian, Abu Hanifah
(80-150 H.) sudah mendahuluinya dengan berkata: “al-Hikayatu ‘anil Ulama’ wa
mahasinihim Ahabbu ilayya minal fiqhi” (Kisah-kisah teladan dan kebaikan
para Ulama lebih aku sukai daripada Fiqh). (al-Iyadh, asy-Syifa bi Ta’rif Huquq
al-Mushtafa, I/6).
Selain berpijak pada ayat al-Quran dan maqalah-maqalah diatas, keabsahan
tradisi manaqiban didukung pula oleh hadits riwayat ad-Dailami berikut ini:
“Zikrul Ambiya minal Ibadah, wa zikrush shalihin
kafaratun, wa zikrul mauti shadaqatun wa zikrul qabri yuqarribukum minal jannah” (Mengingat para nabi adalah
ibadah, mengingat orang shalih adalah palebur dosa, mengingat kematian adalah
sedekah, dan mengingat kubur dakan mendekatkan kalian ke surga)
Menurut as-Sayuthi sanad hadits ini dhaif (lemah), tapi ada juga ulama yang
menilainya hasan li ghairih, seperti yang diungkapkan oleh Ibn al-Gharits
(833-894 H.) (as-Sayuthi, al-Jami’ ash-Shaghir, II/264)
Wallahu A’lam
(Tulisan diatas dinukil dari Buku Menjawab Vonis Bid’ah FKI TAHTA 2010,
hal. 232-236)
Related Posts :