Sudah
sepantasnya Sekolah tinggi di Aceh kental dengan budaya Islam, apalagi setelah Pemberlakuan
syariat Islam secara kaffah di Aceh yang sudah didengungkan semenjak beberapa
tahun silam. Melalui UU
No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 11 Tahun 2006, nanggroe seuramo mekah ini
diberikan keluluasaan untuk menerapkan hukum yang berlandaskan al-Quran dan
hadist. Hal tersebut merupakan suatu keistimewaan yang diberikan pemerintah
pusat untuk Aceh mengingat Aceh satu-satunya daerah yang diberikan keleluasaan
untuk memberlakukan hukum Allah.
Kampus STAI
al-Aziziyah Letaknya persis berada di depan komplek Dayah MUDI Mesjid Raya
(Dayah terbesar di Aceh) Samalangan Kab. Bireuen, karena letaknya tepat di
depan Dayah menyebabkan dominan mahasiswanya adalah santri Dayah tersebut. Dan
menurut penulis STAI al-Aziziyah sebagai adik Dayah MUDI Mesjid Raya bisa
dikatakan sekolah tinggi paling islami di Aceh, karena beberapa alasan berikut
ini:
1. Ada pembatas (tabeng) dalam ruangan
Pemandangan
ini Hampir tidak kita temukan di sekolah-sekolah lain, dimana antara laki-laki
dan perempuan ada pembatas yang dapat menghalang pandangan sehingga tidak
terjadi “mukhalathah” (bercampur laki-laki dan perempuan yang dilarang
syariat). komunikasi antara laki-laki dan perempuan pun menjadi sangat terbatas,
yaitu terbatas pada hal-hal penting saja. Hal ini sangat penting, karena suara
perempuan bisa saja menimbulkan fitnah walaupun kemungkinannya kecil. Mungkin karena
kemungkinan inilah Syariat menganjurkan agar perempuan menutup mulutnya dengan tangannya
ketika menjawab laki-laki yang memanggilnya.
2. Cadar Bagi Mahasiswi
Sebahagian ulama berpendapat
bahwa menutup seluruh tubuh termasuk muka bagi muslimat ialah wajib seperti
yang disampaikan Syaikh an-Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Nihayatu az-Zain.
Karena itu sangat pantas apabila di
Sekolah tinggi dan Universitas diwajibkan cadar (burqa’) bagi mahasiswi seperti
yang telah dicontohkan oleh Stai al-Aziziyah. Semoga STAI al-Aziziyah dapat
menjadi teladan bagi Sekolah tinggi atau Universitas yang lain.
3. Mahasiswa/mahasisiwi adalah Santri
Mendalami Ilmu Fiqh, Usul Fiqh,
tafsir, Ilmu hadits, dan sebagainya tidak cukup di perguruan tinggi, karena
waktu yang terlalu singkat atau berbagai alasan yang lain, kerena itu STAI
al-Aziziyah berkomitmen untuk me-mahasiswa-kan santri yang telah mempelajari
kitab kuning di Dayah (pesantren), sehingga yang menjadi sarjana islam benar-benar
Insan yang memahami hukum, etika, atau Ilmu islam. Hal-hal yang kita takutkan
seperti pergaulan bebas, narkoba, dan tauran tidak akan terjadi pada mahasiswa
dan mahasiswi STAIA, mengingat peraturan DAYAH (pesantren) sangat ketat, dan
sangat anti dengan racun-racun tersebut.
4. Bebas dari Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme
Di Aceh khususnya, secara
realitas ummat Islam harus berhadapan dengan westernisasi dan sekularisasi yang
sedikit demi sedikit menghancurkan ke-khasan Islam yang sebenarnya. Forum-forum
kajian keagamaan menjadi kurang diminati, generasi muda lebih suka kepada
kegiatan-kegiatan atau kajian-kajian yang jauh dari nilai-nilai Islami. Sebuah
fenomena yang memprihatinkan masyarakat Islam dan harus dijawab dengan kegiatan
dan pendidikan Islam yang mampu memberikan pengetahuan yang berbasis moral dan
Agama.
Mungkin banyak diantara kita yang
khawatir kalau paham SEPILIS mampu menembus dinding Sekolah tinggi Aceh,
mungkin saja paham-paham itu dibawa pulang oleh dosen-dosen alumnus luar
negeri, atau mungkin saja karena buku-buku bacaan di perpus telah bercampur
dengan paham-paham tersebut. Tapi lain halnnya jika kita mempercayakan pendidikan
anak kita di STAI al-Aziziyah, karena dosen-dosen yang mengajar adalah Alumnus
Dayah (pesantren) yang masih murni Ahlussunnah wal Jama’ah, dan mahasiswa juga
diharuskan mondok di Dayah Mudi Mesjid Raya atau dayah-dayah lain yang ada di
seputaran Samalanga, Kab. Bireuan, Aceh.
Related Posts :