Acapkali manusia terjerumus dalam sikap saling menyalahkan
karena masing – masing merasa tidak bersalah. Penulis sering mendengar perdebatan
panas di warung kopi tentang masalah syariat, ada yang menyalahkan ulama karena
dianggap tidak peduli dengan penegakan syariat, mungkin kerena mereka tidak
melihat tindakan nyata dari para ulama seperti melakukan razia di jalan dan
sebagainya. Sebagian orang menyalahkan pemimpin, karena dianggap melihat
syariat islam sebelah mata, dan tidak nampak tindakan nyata dalam hal ini.
Maka disini perlu dikaji Siapa sebenarnya yang wajib
menegakkan syariat dengan amar makruf nahi mungkar, atau tanggung jawab
siapakah amar makruf nahi mungkar tersebut?, untuk menjawab pertanyaan diatas,
mari kita perhatikan Sabda Rasulullah Saw. Dibawah ini:
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا
هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Artinya: Rasulullah
Saw. Berkata “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia menegah
dengan tangannya, apabila ia tidak sanggup, maka hendaklah ia menegah dengan
lidahnya, dan apabila ia juga tidak sanggup, maka hendaklah ia menegah dengan
hatinya, yang demikian itu (menegah dengan hati) ialah tanda iman yang sangat
lemah. (HR. Muslem)
Dari hadits diatas,
terkandung beberapa makna, antara lain:
- Maksiat
harus dicegah dengan tangan (kekuatan) bagi yang mampu melakukannya dengan
tangan. Diwajibkan mencegah dengan lidah bagi yang mampu melakukan denga
lidah. Apabila orang yang mampu mencegah dengan tangan, tapi beralih untuk
mencegah dengan lisan saja, maka kewajibannya menegah maksiat masih belum
selesai (belum terlepas kewajiban)
- Mungkar
yang wajib ditegah ialah mungkar yang sudah pasti atau diketahui dengan
jelas kejadiannya. Berita tentang kemungkaran tidak wajib direspon apabila
hanya sekedar isu yang tidak jelas. Adapun berita yang disampaikan oleh
orang yang dapat dipercaya, harus direspon dan diperiksa kebenarannya.
- Orang
yang tidak membenci kemungkaran dengan hatinya pertanda imannya sangat
tidak sempurna. Bahkan Ibnu mas’ud pernah berkata “Binasalah orang yang
tidak mengenal dengan hatinya akan makruf dan mungkar”
Dalam Hadits yang lain
Rasulullah juga menyebutkan:
إن الناس إذا رأوا المنكر فلم
يغيّروه، أوشك أن يَعُمَّهُم الله بعقاب
Artinya: sesungguhnya
manusia apabila mereka melihat kemungkaran dan tidak menegahnya, mungkin akan
ditimpa siksa seluruhnya.
Setelah membaca
penjelasan diatas, jelaslah bahwa setiap orang wajib mencegah maksiat, namun tidak
semua orang mampu menegah maksiat dengan tangannya, karena tidak semua orang
punya kekuatan dan kekuasaan. Tidak semua orang mampu menegah mungkar dengan
lidah, karena ada sebagian orang yang tidak mau didengarkan oleh orang lain. Imam
al-Ghazali menyebutkan salah satu syarat diwajibkan menegah mungkar dengan
tangan ialah ada kemampuan melakukannya
sebagaimana dapat dipahami pada hadits diatas, orang awam yang tidak ada kemampuan
hanya diwajibkan membenci dalam hatinya terhadap suatu kemungkaran (menegah
dengan hati). Karena itu, dalam menafsirkan hadits diatas, Al-Qurthubi berkata
dalam tafsirnya:
قال العلماء: الامر بالمعروف
باليد على الامراء، وباللسان على العلماء، وبالقلب على الضعفاء، يعني عوام
الناس.فالمنكر إذا أمكنت إزالته باللسان للناهي فليفعله، وإن لم يمكنه إلا
بالعقوبة أو بالقتل فليفعل، فإن زال بدون القتل لم يجز القتل
Artinya: Berkatalah
para Ulama “Kewajiban memerintahkan yang makruf dengan tangan diperuntukkan kepada
Raja-raja (presiden dan perangkat – perangkat negara), kewajiban menyampaikan
yang makrur dan menegah yang mungkar dengan lisan diperuntukkan kepada para
Ulama, dan kewajiban Amar makruf nahi mungkar dengan hati diperuntukkan kepada
orang awam. Apabila kemungkaran mungkin dicegah dengan lisan, cukuplah dicegah
dengan lisan saja, apabila harus dengan kekerasan dan memberi hukuman, maka
harus dilakukan, tetapi selama kemungkaran mungkin dihilangkan atau dicegah
tanpa kekerasan, tidak dibolehkan mencegah dengan kekerasan.
Dari penjelasan ini
dapat diketahui dengan jelas bahwa para Ulama dan kalangan awam tidak
diwajibkan menegah maksiat denga tangannya jika tidak disanggupi, kewajiban
Ulama hanya menyampaikan lewat lisan, selebihnya adalah kewajiban pemimpin yang
punya kekuatan dan kekuasaan. Pemimpin dan aparat pemerintahan yang punya
kemampuan menegakkan syariat, berdosa jika tidak melaksanakannya, karena hal
ini pula, memilih pemimpin yang adil dan taat beragama adalah hal yang sangat
penting, karena jika pemimpin tidak kurang peduli terhadap agama dan syariat,
kemaksiatan akan sangat merajalela, sedangkan para ulama dan orang awam tidak
mampu mengegahnya dengan tangan, ulama hanya mampu berdakwah dengan lisan, dan
orang awam hanya mampu berdakwah dengan hati, maka pelaku maksiat dapat
melakukan apapun sesui kehendaknya tanpa larangan apalagi hukuman.
Memilih pemimpin yang
adil dan siap mencegah yang mungkar serta menegakkan yang makruf merupakan “PR”
yang harus segera dikerjakan oleh masyarakat Aceh khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya, apalagi memilih pemimpin yang adil hukumnya wajib
sebagaimana penegasan Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam kitabnya “Jauharatu
al-Tauhid berikut ini:
وَوَاجِبٌ نَصْبُ اِمَـامِ عَدْلِ بِالشَّرْعِ فَاعْلَمْ لاَ
بِحُكْمِ الْعَقْلِ
Memilih pemimpin yang adil itu kewajiban, karena
perintah Allah bukan perintah akal
Jika
orang awam, ulama dan pemimpin memegang perannya masing – masing dalam
penegakan syariat, yaitu Ulama yang menyampaikan mana yang makruf dan yang mungkar,
pemimpin dan petugas negara yang mencegah langsung praktek maksiat atau
mungkar, sedang orang awam yang sadar akan kewajiban mentaati perintah Allah
dan rasul membenci kemaksiatan dalam hatiny, juga berusaha mencegah semapunya, insya
Allah syariat islam di Aceh akan segera mengapakkan sayapnya.
Related Posts :