Bernyanyi dan mendengar nyanyian
adalah dua hal yang tidak bisa lepas dari hidup manusia. Sebagian orang
melakukannya hanya sekedar untuk hiburan, ada juga orang bernyayi untuk
menumpahkan perasaan yang tak sanggup dipendam lagi dalam hati. Namun, apakah bernyanyi dan mendengar nyanyian
dibolehkan dalam agama atau tidak?, untuk menjawabnya, kami mencoba
menerjemahkan redaksi kitab Asna al-Mathalib yang bermazhab Syafi’ie berikut
ini:
Ghina’
(Nyanyian) dan mendengar nyanyian tanpa alat (musik) adalah makruh,
karena padanya itu terdapat “Lahwu” (melalaikan), karena Allah Swt.
berfirman: “Dan sebahagian manusia adalah orang-orang yang membeli perkataan
yang melalaikan”. Ibnu Mas’ud mengatakan, yang dimaksud “perkataan yang
melalaikan” adalah Ghina’ (nyanyian). Pernyataan itu diriwayatkan olah
al-Hakim dan beliau menshahihkan isnadnya.
Bernyanyi dan mendengar nyayian
tidak diharamkan dikarenakan Hadits Shahihain dari A’isyah Ra., beliau
berkata: “Abu Bakar Ra. masuk (ke tempat) ku, saat itu disisiku ada dua
budak yang merupakan budak Anshar, keduanya sedang bernyanyi sebagaimana yang
dibawakan oleh orang Anshar pada hari Bu’ats, namun keduanya bukanlah penyanyi.
Abu Bakar berkata: “Apakah ada gitar syaithan di Rumah Rasulullah Saw?” Hari
itu adalah hari Raya. Maka Rasulullah Saw. Berkata: “Wahai Aba Bakar!, setiap
kaum itu punya hari raya, dan ini adalah hari raya kita”
Mendengar nyanyian (tanpa
diiringi alat musik) dari perempuan ajnabiah, sangat dimakruhkan, maka
apabila dikhawatirkan timbul fitnah (efek negatif) ketika mendengar
perempuan ajnabiah atau amrad bernyanyi, hukumnya haram tanpa khilaf.
Adapun Hida’ (dibaca
dengan zummah ha atau kasrahnya, dan dipanjangkan pada da, yaitu
sesuatu yang diucapkan dibelakang onta daripada rajaz atau lainnya)
adalah mubah (dibolehkan), bahkan an-Nawawi dalam kitab Manasikya mengatakan
sunat, karena ada hadits-hadits shahih (mengenai hal itu), juga karena
padanya itu mengandung motivasi jiwa dan menghilangkan ngantuk. (Asna
al-Mathalib, 22/416, al-Maktabah asy-Syamilah)
Adapun Bernyayi dengan alat yang muthrabah
seperti Thanbur (Rebab), aud (gambus) dan alat-alat musik lainnya
yang melalaikan, juga autar (alat musik bersenar), dan yang dipukul,
juga mizmar iraqi, yaitu yang dipukul bersama autar, begitu juga Yara’
yaitu syababah (seruling tanpa mulut)
maka hukumnya haram, baik memakainya atau mendengarnya, sebagaimana diharamkan memakai
alat-alat tersebut, diharamkan pula membuatnya, karena alat-alat itu ialah syi’ar
pemabuk, dan merupakan alat Muthrabah. Imam Rafi’i menshahihkan
halal yara’, karena ia dapat memotivasi dalam perjalanan.
Termasuk dalam
kategori ma’azif juga adalah shanj sebagaimana disebut oleh
pengarang Asal. Shanj adalah (alat musik) yang mempunyai senar
sebagaimana dijelaskan oleh al-Barizi.
Menabuh rebana adalah mubah (dibolehkan) untuk acara
perkawinan, khitan, dan pada momen-momen lain yang bertujuan membangkitkan
kebahagiaan, walaupun memakai Jalajil, karena ada hadits-hadits tentang
halal menabuh rebana tersebut, seperti Hadits: “Pemisah antara halal dan
haram adalah menabuh reabana”, juga hadits: “Sesungguhnya Nabi Saw.
Ketika kembali ke madinah dari salah satu tempat peperangan, beliau didatangi
oleh budak hitam, ia berkata: “wahai rasulullah, sesungguhnya aku bernazar, jika
Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat, maka aku akan menabuh rebana
dihadapanmu serta bernyanyi. Rasulullah Saw berkata: “Jika engkau telah
bernazar, maka tunaikan nazarmu”. Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban dan lain-lain, mereka juga menshahihkannya
Menguatkan “Ibahah” (boleh) pada selain pesta perkawinan
dan khitan adalah tambahan pengarang, hal itu diterangkan dalam al-Minhaj
seperti asal minhaj.
Jalajil adalah Sunuj,
jamak dari Shanj, yaitu cincin-
cincin (menyerupai cincin) yang diletakkan di dalam rebana (Asna
al-Mathalib, 22/417, al-Maktabah asy-Syamilah)
Related Posts :