Bujang Salim adalah seorang Pahlawan Aceh (Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan). Teuku Rhi Bujang Selamat atau Bujang Salim Bin 
Rhi Mahmud (1891-1959).
 
Beliau dilahirkan pada tahun 1891 di Nanggroe Nisam (Nisam, Kecamatan
 Keude Amplah, Kabupaten Aceh Utara). Sebagai putra Uleebalang Nanggroe 
Nisam, pada tahun 1912 beliau menyelesaikan kelas 5 (lima) pada 
Kweekschool dan Osvia di Bukit Tinggi (Sumatera Barat) dan kemudian 
kembali ke Aceh. 
Selama 1 tahun berdiam di kutaraja ( Banda Aceh) untuk 
mempelajari dan mempraktekkan tata kepamong kerajaan. Kemudian pada 
tahun 1913 menjabat sebagai Zelfbsrtuurdier Nanggroe Nisam sampai 1920. 
Kemudian beliau dipecat dan difitnah oleh Belanda sehingga beliau 
dibuang ke Merauke (ujung pulau Indonesia) 
Setahun kemudian (1913), Bujang Salim ditunjuk menjabat sebagai 
Zelfbstuurdier Nanggroe Nisam sampai tahun 1920. Selama menjabat, ia 
sering melakukan aktifitas di bidang politik dan keagamaan. Aktifitasnya
 itu mengundang kekhawatiran pihak Belanda yang saat itu menjajah 
Indonesia.
Pada 8 Februari 1921, Bujang Salim dipecat dari jabatan 
itu dan diasingkan ke Meulaboh oleh Belanda. Pada 21 April 1922, ia 
dibuang ke timur Indonesia yaitu Meurauke. Selama di sana, Bujang Salim 
juga melakukan aktifitas pendidikan dan keagamaan yang merupakan suatu 
kegiatan bertentangan dengan perpolitikan Belanda ketika itu.
Itu 
sebabnya, Bujang Salim lalu dibuang ke daerah Tanah Merah (Digul) pada 5
 April 1935. Digul adalah tempat pembuangan para pejuang kemerdekaan. 
Letaknya di dekat sungai Digul hilir, Papua.
Berikutnya, di masa 
serbuan Jepang, tepatnya 11 Mei 1942, Bujang Salim kembali diungsikan. 
Awalnya, ia diungsikan ke hutan Bijan, kemudian dikembalikan lagi ke 
Meurauke. Pada 3 November 1942, ia kembali dibawa pulang ke Tanah Merah. 
 Pertengahan tahun 1943, atas anjuran Van Der Plas pemerintahan 
interniran Belanda, mengangkut semua orang buangan untuk diungsikan ke 
Australia, termasuk Bujang Salim. Tiba di Mackay, Australia, 5 Juni 
1943.
Akhir tahun 1945, pemerintah interniran Belanda memerdekakan 
orang-orang buangan tersebut dan dijanjikan akan dipulangkan ke 
masing-masing tempat asal. Pada 7 Oktober 1946, Bujang Salim dan 
rombongan eks buangan diberangkatkan dengan kapal barang tentara sekutu 
dan tiba di Jakarta, 14 Oktober 1946.
Ia dimasukkan ke kamp Chause 
Complex, satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan 
ke Cirebon dan diserahkan pada pemerintah Indonesia. Sedangkan Bujang 
Salim, karena anaknya sakit keras, tidak jadi diberangkatkan sampai 
empat bulan lamanya. 
 Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri 
dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat
 ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementrian Dalam Negeri di 
Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu kapal yang berangkat
 dari Cilacap menuju Sumatera. Karena Agresi I Belanda pada 31 Juli 
1947, ia dan keluarga terpaksa mengungsi ke lereng-lereng gunung Slamet 
(Jawa Tengah) selama enam bulan.
Pada Maret 1948, ia ditangkap oleh 
satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua hari 
kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu,
 ia dibawa ke Medan (Sumatera Utara, tiba 20 April 1948.
Pada 
Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Bujang Salim 
diberangkatkan ke Kutaradja (Banda Aceh). Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang 
ke Krueng Geukuh, yang saat itu berada dalam Nanggroe Nisam. Bujang 
Salim akhirnya meninggal dunia pada Rabu, 14 Januari 1959. Ia 
dikebumikan di Krueng Geukuh, tepatnya dekat Masjid Besar Bujang 
Salim.
Selama hidup, beliau dikaruniakan 8 (delapan) orang anak (1
 dari isteri pertama di Krueng Geukueh), tetapi disangsikan tidak dapat 
pulang dari pembuanagan, lalu becerai. Sedangkan 7 orang lagi dari 
isteri kedua di Merauke. 
Arsip yang menjelaskan sejarah Bujang Salim ini disalin ulang oleh Mapilindo, cucu urutan ketiga.
Begitu beratnya perjuangan Bujang Salim sehingga nama beliau patut 
diabadikan. Bujang Salim juga berlatar belakang alim, santun. Sehingga 
penduduk yang berada di wilayah Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara dulu
 bahkan kini sepakat menamai masjid megah dan menawan di tengah kota Krueng Geukueh itu dinamakan dengan 
Bujang Salim.
Mulanya masjid ini berkontruksi kayu dengan ukuran 25×15 meter 
persegi. Namun seiring berjalannya waktu dengan bantuan perusahaan 
Raksasa yang berdiri disekitar Krueng Geukueh yaitu PT AAF dan PIM 
memberi bantuan untuk pembangunan masjid Bujang Salim mencapai  50 %. 
Akibat perluasan tersebut kini Masjid Bujang Salim berukuran 65×50 meter
 persegi. Bisa ditotalkan jumlah jamaah yang mampu ditampung mencapai 
2.700 orang.
Adapun konsep pembangunan masjid ini langsung diambil dari Masjid 
Raya Baiturrahman Banda Aceh. Walaupun banyak orang yang mengatakan dua 
mesjid itu kembar, tetapi diantaranya tetap memiliki perbedaan. Masjid 
Baiturrahman memiliki 7 kubah , sedangkan Bujang Salim hanya mempunyai 5
 kubah.
Masjid Agung ini juga sering sekali dijadikan tempat untuk pertemuan penting ulama dan umara level daerah bahkan nasional. 
(Dari Berbagai Sumber) 
 
Title : Biografi BUJANG SALIM, Perintis Pergerakan Kebangsaan
Description :     Bujang Salim adalah seorang Pahlawan Aceh (Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan). Teuku Rhi Bujang Selamat atau Bujang Salim Bin  ...