Kisah ini bersumber dari KH. Zubairi Rahman yang saya copas dari "kisahikmah.com". Berikut kisah selengkapnya, semoga bermanfaat.
Cerita ini bermula ketika seorang laki-laki, sebut saja namanya Raman. Ia telah
menikah dengan wanita pilihannya. Wajahnya cantik. Namun sayang, hatinya
tak secantik wajahnya. Raman mulai terpengaruh dengan istrinya dan
hampir selalu menurutinya.
Selain Raman dan istrinya, di rumah itu
juga tinggal ibunya. Sebelumnya, Raman bersikap baik pada ibunya. Tapi
perlahan, sang istri men-‘cuci otak’-nya.
Suatu hari, sepulang Raman dari tempat
kerja, istrinya mengadu. “Mas, ibu itu bagaimana sih. Kerjanya cuma
jalan-jalan ke rumah tetangga. Nggak mau bantuin aku.” Raman langsung
termakan kata-kata sang istri. Dicarinya ibunya.
“Ibu, ibu sukanya ke main ke rumah tetangga ya. Nggak mau mbantu menantu ibu.”
“Siapa yang bilang begitu. Ibu itu yang ngepel dan nyapu rumah ini, Raman. Ibu yang mencuci. Dan makanan yang kamu makan itu, itu juga ibu
yang masak. Ibu memang ke rumah tetangga, tapi itu cuma sebentar. Untuk
istirahat. Kalau istirahat siang-siang di rumah ini, ibu bisa dimarahi
istrimu…”
Mendengar penjelasan itu, bukannya minta maaf, Raman malah tidak mempercayainya. “Ah, ibu alasan saja.”
Hari-hari berikutnya, hubungan antara Raman dan ibunya tak kunjung membaik. Apalagi hubungan antara ibu dengan
istri Raman, semakin memanas. Hingga suatu malam, setelah Karta sampai
di rumah, sang istri memintanya mengambil keputusan yang sangat sulit.
“Mas, aku sudah tidak betah lagi sama
ibu. Aku dan ibu tidak bisa lagi tinggal dalam satu atap. Sekarang Mas
pilih, aku yang pergi atau ibu yang keluar dari rumah ini,” kata istri Raman dengan nada tinggi. Karta bingung. Ia tidak tega mengusir ibunya,
tetapi ia juga tidak sanggup berpisah dari istrinya.
“Kenapa seperti itu Dik. Aku sangat mencintaimu, aku tak mungkin hidup
sendiri tanpamu. Tapi ibu, ia tidak punya siapa-siapa. Kalau ia pergi,
pergi ke mana? Kasihan dia”
“Enggak Mas. Malam ini juga kamu harus putuskan. Ibu yang pergi atau aku
yang pergi.” Luluh juga hati Raman di depan istrinya. Entah syetan apa
yang merasukinya, ia pun melangkah ke kamar ibunya.
“Masya Allah, benarkah kamu mau mengusir
ibu ini, Raman?” tanya ibu setengah tak percaya saat mendengar Raman
memintanya pergi dari rumah.
“Iya, Bu. Ini demi kebaikan rumah tangga kami.”
“Kamu tega, Raman,” orang yang namanya dipanggil hanya diam, “kalaupun
kamu mengusirku, tunggulah besok pagi. Tengah malam begini, ibu harus ke
mana?” Raman terdiam. Ia tak menjawab. Tapi keputusannya telah bulat.
Beberapa waktu kemudian, ibu keluar
dengan tas di tangannya. Tidak semua barangnya bisa dibawa. Ia melangkah
berjalan di tengah malam, sambil air mata terus menetes membasahi
pipinya. Sebagai seorang ibu, ia sungguh sangat kecewa. Sakit hatinya.
Diusir oleh anak sendiri yang lebih mementingkan istri tak berakhlak
daripada ibunya.
Dalam kondisi itu, sang ibu pun berdoa. “Ya Allah,
hatiku sakit atas perlakuan ini. Anakku sendiri mengusirku, padahal aku
yang mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkannya. Ya Allah, aku
tidak ridha padanya. Aku haramkan seluruh air susu yang diminumnya sejak
bayi hingga membentuknya seperti saat ini.” Doa seorang ibu yang
didurhakai, doa di tengah malam, dalam kondisi hujan rintik-rintik,
ketiga faktor mustajabnya doa itu bertemu.
Keesokan harinya, Raman merasakan
seluruh tubuhnya sakit. Kulitnya mulai gatal-gatal. Makin lama, kulitnya
seperti melepuh. Hari-hari berikutnya lepuhan itu mengeluarkan nanah
dengan bau yang menyengat. Sampai-sampai, tetangga yang menjenguknya pun
tidak berani mendekat. Berbagai upaya medis tak juga membuatnya
membaik. Raman menyadari bahwa ini mungkin karena kesalahannya mengusir
ibunya sendiri di malam itu. “Tolong carikan ibuku, aku ingin minta
maaf. Sakitku ini karenanya,” pintanya pada seseorang.
“Tidak. Biar Raman merasakan sakit itu.
Sakitnya hatiku diusir lebih sakit dari apa yang dirasakan Karta,” jawab
sang ibu saat ditemui pesuruh Raman, “aku tak mau kembali ke rumah
itu.”
Beberapa hari kemudian, Raman pun meninggal. Begitu busuknya bau Raman, sampai-sampai modin
setempat tidak mau memandikannya sendiri. Ia menyewa orang untuk
memandikan Raman. Waktu meninggalnya Raman hampir bersamaan dengan
meninggalnya orang lain di kampung yang sama. Sehingga tersedialah dua
galian untuk memakamkan mereka.
Dan baru saja Raman dimakamkan,
keributan terjadi.
“Ini seharusnya makam untuk saudara
saya, kenapa ditempati,” kata seseorang yang terkejut melihat galian
makam untuk saudaranya telah terisi.
“Maaf pak, kami tidak tahu. Karena sudah terlanjur, sekali lagi kami
minta maaf. Mohon almarhum dimakamkan di galian satunya Pak, kan
sama-sama makamnya”
“Tidak bisa! Ini sudah kita pesan liang lahatnya dekat dengan anggota
keluarga yang meninggal sebelumnya. Kalau di sana kan jadi terpisah.
Kami tidak mau. Harus dibongkar”
Karena tidak bisa diajak kompromi,
akhirnya warga pun mengalah untuk membongkar kembali makam Raman.
Anehnya, saat makamnya dibongkar, mereka mendapati kain kafan Karta
telah berubah warna; coklat keabu-abuan. Tubuhnya juga tampak lebih
tipis. Dan begitu dibuka, mereka terkejut bukan main. Jenazah Karta
berubah warna dan bentuk, seperti hangus terbakar. Demikian dahsyatnya
azab bagi anak yang durhaka kepada ibunya. Azab pedih langsung terjadi
di dunia dan lebih pedih lagi saat berada di alam barzah. Na'uzubillahi Min Dzalik.