Di kaki langit sebelah timur ku
lihat sang surya mulai menyungsingkan senyum tulusnya pada dunia. Perlahan ku beranjak mendekati jendela. Ku singkap tirai
merah muda yang menutupinya. Ku biarkan semilir angin menerpa wajahku. ku lepas
pandanganku ke taman melati. Burung-burung berkicauan diatas dahan. Sejenak ku
tertegun, Namun seketika tegun itu terenyuh dalam angan.
Hampir 20 tahun aku hidup di sebuah
rumah yang mewah bak istana raja yang
orang-orang didalamnya bersemboyan "segalanya dapat dibeli dengan uang”.
Sedangkan
ibadah itu sebatas seremoni atau ritual keagamaan yang hanya dilakukan oleh
orang tua semata. Sejak itu pulalah aku hidup dimenara gading, kehidupan ku
bak kehidupan para permaisuri raja, penampilan ku penampilan artis, makanan ku
makanan pembesar kerajaan dan teman sepermainan ku para arjuna yang gagah-gagah
dan tampan.
Masih melekat dibenakku saat ku reguk
puas sajian karunia yang maha megah, maha mewah dan maha indah itu. gurih dan lezatnya
memenuhi rongga dada dan jantungku, sari-sarinya mengalir deras merembes
nadi, sampai kesumsum tulangku yang
terkecil. Membuat ku tersenyum, tertawa dan bergembira ria. Semua kesenangan
dunia bergelimpangan disekitarku. Aku terlena…, pulas dan tenggelam dalam
kenikmatannya.
Ku arungi hidup yang maha bahagia itu tanpa seorang pun
yang berani mengatur dan melarangku. Kuturuti apa saja hasrat hatiku. Tak
jarang pun ku bergadang sampai larut malam. Betapa aku sangat girang saat melihat
pandangan kaum lelaki yang terpesona berseliweran disekitar ku. Mereka jadi pak turut yang selalu setia berkorban untuk
membahagiakan hatiku. Segalanya kujalani dan kuturuti sesuka hatiku. Berkelana
kemana hati ku mengajak, kemana sedan ku melaju tanpa peduli pada waktu yang
terus berlalu.
Seiring dengan perputaran waktu.
Roda nasibpun berputar. Yang dibawah tidak akan selalu dibawah. Begitu pula dengan
yang di atas, tidak akan selamanya di atas. Tidak akan ada yang abadi*.
Senja
itu.., Saat lilin telah kunyalakan diatas kue tar, pisau telah
kusiapkan, tiba-tiba sebuah ambulan menjerit-jerit didepan rumah. Ku lihat
jenazah adik-kakak ku diturunkan. Seakan dunia telah kiamat. Ku
menjerit tangis yang menjadi-jadi sampai ku tak sadar diri. Ku depresi berat
dan koma dirumah sakit sebulan lamanya. Sadarku tuhan telah menkdirkan pesawat yang mereka tumpangi jatuh dan hancur berkeping-keping. Berbagai perasaan mulai bercampur aduk dan bergelombang antara
pasang naik dan surut. Apakah aku harus berhenti menjadi tawanan kenikmatan
sesaat bagi kesenangan dunia?, Ataukah aku akan menempuh semua kebiasaan nafsu
mulai dari bersolek, tampil seronok, dan pestapora?
Atau seremoni itu akan mendamparkanku ke arah yang lebih jauh lagi?
Ku reguk seteguk
lagi. Semakin ku reguk semakin aneh saja rasanya. Semakin ku selami, semakin
jelas saja keruhnya. Sejenak ku pertanyakan posisiku yang kian hari kian
terdampar jauh dari cinta kasih-Nya. Posisi ku yang kian hari kian terpojok
dalam hina-dina. Kupertanyakan segenap usia yang telah kuhabiskan.
Kupertanyakan lagi setiap kesempatan yang telah ku pergunankan. Kupertanyakan
kembali setiap desah nafas yang telah ku hembuskan. Ku pertanyakan
pada diri ku. Pada diri yang semakin hari semakin jenuh dalam ketidakpastian.
Sejak kecil aku selalu
beranggapan bahwa "masa remaja merupakan masa yang sangat indah dan
paling menyenangkan." Mungkin
karena aku sering melihat fenomena yang terjadi di alam sekitarku. Ya..! Karena
mereka begitu bebas berkelana dan menentukan apa yang mereka inginkan.
Satu hal yang membuat ku paling iri, mereka bisa berbagi kasih dengan pria
pujaannya.
Namun semuanya berbeda manakala aku dewasa. Fashion gaul
yang dulu merupakan tren untuk menentukan kepribadian seseorang malah
jadi ikon kemurahan harga diri ku, kebebasan yang ku angan - angankan
ternyata mampu membinasakan seluruh asa dan masa depanku, pacaran yang dulu ku
damba-dambakan ternyata tipu muslihat yang menyesatkan. Ya Allah...! ampunilah
kesalahan dan kekhilafanku. Berikan ku taufik dan hidayah-Mu.
Dua puluh tahun sudah aku
pertaruhkan usia, berfoya-foya menghamburkan harta, tiada satupun yang membekas
dalam hidup ku. Disetiap pesta pora kebebasan yang kurayakan yang ada
hanya canda, tawa, lalu pulang kelelahan, dan kesepian seperti sediakala. semua
itu gersang dari segala makna kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Setiap kali
berganti hari, keresahan dan kegelisahan semakin merasuki jiwa ku. berbagai
perasaan campur aduk dan perasaan tumpang tindih saling mengombang-ambingkan
ku. Aku coba fahami hidupku dalam tumpukan harta kekayaan ayah yang sampai
tujuh turunanku pun tak bakal habis, tapi kenapa tidak pernah ada simbol
kebahagiaan abadi disana?. Malah tidak pernah tenang jiwaku tidak pernah cukup jua kebutuhanku.
Aku putuskan untuk berdiri
membasuh muka dan mengeyahkan mendung pemikiran kelam yang telah memayungiku. Aku
tersenyum bahagia, ayah-ibu merestui rihlah (perjalanan) ku. Keduanya
menginsafi bahwa pendidikan umum lah yang tak punya masa depan. Kurangkai
munajah dalam tahajjud dan istikharahku, barulah dapat kupejam mataku. Aku
lelah! Lelah menyikapi ambigu atau dualisme parameter dari hilangnya
nilai-nilai keagamaan dalam rihlah kehidupan ku. Akhirnya kuterlelap
jua.
Sedang-sedangku melewati sebuah
jembatan baja yang berkabut awan. Terlihat olehku sebuah menara kudus. Abu Bakar Ra. menyambut kehadiran ku. Beliau
berkata:
"Nayla....!”
Sesungguhnya iblis berdiri di
depanmu,
jiwa di sebelah kananmu,
nafsu di sebelah kirimu,
dunia di sebelah belakangmu dan
semua anggota tubuhmu berada di
sekitar tubuhmu.
Sedangkan Allah melihatmu.
Sementara iblis terkutuk
mengajakmu meninggalkan agama,
jiwa mengajakmu ke arah maksiat,
nafsu mengajakmu memenuhi syahwat,
dunia mengajakmu supaya memilihnya
dari akhirat dan
anggota tubuh menagajakmu
melakukan dosa.
Dan Tuhan mengajakmu masuk Syurga
serta mendapat keampunan-Nya, sebagaimana firmannya yang bermaksud,
"....Dan Allah mengajak ke Syurga serta menuju keampunan-Nya..."
”Nayla......?!”
Siapa yang memenuhi ajakan iblis, hilang
agama dari dirinya.
Sesiapa yang memenuhi ajakan jiwa,
hilang darinya nilai nyawanya.
Sesiapa yang memenuhi ajakan
nafsunya, hilanglah akal dari dirinya.
Siapa yang memenuhi ajakan dunia, hilang
akhirat dari dirinya.
Dan siapa yang memenuhi ajakan
anggota tubuhnya, hilang syurga dari dirinya.
Dan siapa yang memenuhi ajakan
Allah Swt., hilang dari dirinya semua kejahatan
dan ia memperolehi semua
kebaikan."
”Nayla...! Nayla...! bangun! pada
azan!”. Bunda membangunkan ku.
”Hayya 'allashalaa.............h.!.
azan subuh berkumandang.
Aku banngkit dari kasurku dan
bersujud syukur atas taufiq dan hidayah-Nya. Dalam linangan air mata bahagia ku
bangkit memperbaiki tampilanku, lalu kusalin pakaian kumuh itu dengan busana
muslimah. Kudapati diriku tak ubahnya seorang bidadari tuhan yang
amat cantik. Ku hijab wajah ku dengan secarik cadar. Subhanallah...!
semakin ayu saja diri ku, Sadar ku. fajar iman telah menyingsirkan sinarnya
dari relung hatiku hingga ku mampu menatap kebenaran itu. Saat itulah ku mulai
menemukan ketenangan dan ketentraman batin. Meski semua aral yang merintang di
jalanku dan dari semua tipu muslihat dan persekongkolan yang dipasang
jerat-jeratnya untuk menjebakku dari semua kenalan yang bertujuan melemahkan
tekadku yang akhirnya mengakibatkan kelemahan dan hilangnya agamaku.
Ku bulatkan tekadku menjadi
bidadari tuhan yang sempurna. Ku jinjing sebuah bag
travel berisikan pakaian. Ku tampik semua bujuk rayuan dan kuinjak-injak
segala iming kepalsuan yang berusaha mengelabuiku. Sepenuh hati ku menyakini
Allah meridhai jalanku, Rasul mencintaiku dan malaikat tersenyum padaku. ”Allahu
akbar..! Allahuakbar..! Allahuakbar..!”.
"Jalan kebenaran juga tidak selamanya sunyi dari rintangan". tak jarang aku ditimpa
badai cobaan. Tapi aku sadar, aku sedang di uji untuk menaiki tahta
yang lebih tinggi dan lebih mulia disisi-Nya. Ku dapati dalam diriku suatu
motivasi untuk melawan dan tetap tegar. Aku berusaha keras melupakan
pemikiran kontra produktif yang muncul dan yang mereka tanamkan dalam pikiran
ku. Ku temukan berbagai pemikiran dan landasan bagi diri ku yang bersumber dari
kelapangan Islam. Itulah landasan-landasan yang
membuatku tenang. Semakin ku bertafakkur, semakin ku yakin pada-Nya,
semakin tenang pula jiwaku. Dialah tuhanku satu-satunya yang maha pengasih,
yang kasihnya tidak pernah pilih kasih. Dia pulalah sang tuhanku yang sayangnya
tidak pernah pilih sayang. Semakin ku coba mencintai-Nya semakin bahagia
hidupku. Ya Allah...! betapa suci-Nya cinta-Mu. Semakin dalam ku merindu dan
menyintai-Mu, semakin ku merasa kehadiranMu.
Alhamdulillah, aku berhasil menundukkan nafsuku. Hilang semua
kegemaran yang dulu ku lakukan. Allah
talah mengganti untuk ku sesuatu yang lebih baik, berupa jiwa yang tenang dan
hati yang damai. Sebagaimana aku dikaruniai teman-teman ”bidadari” yang baik
sebagai pengganti semua orang-orang yang hilang dariku.
Lebih dari itu aku mendapati pandangan
penuh hormat pada mata orang-orang disekelilingku. Termasuk dari orang-orang
yang dulu berusaha membujukku dengan berbagai kenangan dunia. Bahkan, sampai
kini, meskipun jarak hampir 6 tahun lalu, namun sebahagiannya masih melancarkan
berbagai konspirasi dan tipu muslihat untuk
menghancurkanku. Akupun berhasil mengalahkannya, tapi masih tetap gagal pada
sebahagian yang lainnya, tetapi aku tak pernah menyerah. Aku terlahir bukan
antuk menyerah. Dengan semangat ku berucap, “hai dunia………..! jangan godai aku….!”
(By: al-Fath Mohd. ZA)