Sadarku kalau hari ini adalah hari penentuan riwayat pendidikan ku di
bangku sekolah. Ku harus datang untuk meraih semua itu. Buat bunda. ”Tiada yang
tak mungkin. Ku bisa! Ku harus jadi lulusan terbaik. Ya, buat bunda. Bundaku
tersayang.” gumamku.
Kupersingkat khayal dengan ibadah ku disana. Membasuh badah seadanya lalu
kusempurnakan dengan wudhuk.
“Angga...! bunda
strika bajunya ya…”
Mendengar
tawaran tulus itu ku tertegun. Bagiku dukungan dan semangat darinya tadi sudah cukup
bahkan lebih dari dari yang ku harapkan. ku tahu betul bagaimana tulusnya
wanita berhati malaikat yang telah melahirkan dan membesarkanku dalam cinta dan
kasih sayangnya itu. Meski sehalus apapun ku menolak dan melarangnya walau
seribu kali lagi, asalkan mampu dan sempat dilakukannya, ia akan melakukan apa
saja yang terbaik buat ku. Apalagi hari ini, ia tahu betul hari ini adalah hari
ebtanas disekolah.
Begitulah kasih bunda padaku. Seakan bahagiaku adalah
bahagianya sendiri. Dan dukaku adalah dukanya sendiri. disetiap ceriaku ada
senyumnya, disetiap dukaku ada isak tangisnya karna sesungguhnya...dukaku
adalah dukanya sendiri. Bahagiaku entah karna ia adalah seorang ibu... dan aku
adalah darah dagingnya, atau memang karena dia adalah wanita jelmaan malaikat
buat yang diutus tuhan buatku. Yang jelas aku bahagia karenanya. Dan aku atas
izin tuhan dan restunya bunda, aku tidakkan pernah menjadi seorang ayah buat
anak-anak ku sebelum ku mendapatkan seorang ibu buat mereka layaknya ayah memberiku
ibu seperti bunda.
Sebongkah
pilu yang sempat meleleh ke pipi ku rasanya tak cukup mewakili desiran hati ku
mengenang kasih bunda. Tak sanggup ku bayangkan bila nantinya ada kata
perpisahan antara kami. Mungkin ku akan mati dalam kegilaan menderai air mata
menagisi hari-hari yang penuh kenagan bersamanya. Betapa engkau telah
mengandungku sembilan bulan lamanya. Betapa engkau telah melahirkan dan
membesarkanku dalam cinta dan kasih sayang mu. Telah engkau lukis kenangan
terindah di setiap liku-liku kehidupan ku. Bunda, kalau tuhan memberiku satu
pilihan, kukan memilih takkan mati sebelum membahagiakan mu layaknya engkau
telah membahagiakan ku semenjak kecil.
Ku ingin senyum mu, senyum yang selalu
jadi penawar luka dan kesedihan ku, senyum yang selalu menyambut kepulanganku
disetiap kesempatan kan terpatri
selamanya. Menjerit batin ku. Sebongkah
pilu meleleh, kian deras kepipi ku. Sejenak tangan ku terhenti menimba. Ku sapu
air mata ku.
Sembari
berkaca di depan cermin lemari ku mengiba. "Bunda ku tahu engkau sangat berharap
ku dapat meraih peringkat kelas sekaligus jadi siswa taledan tahun ini, seperti
tahun- tahun yang lalu. Oh bunda… Angga akan kembali kebangku sekolah. Meski
izza azizie bukan namaku lagi. Bersama nama baru yang engkau berikan akan kembali
menjadi yang terbaik. Ya! Bunda akan duduk di deretan paling depan menunggu
nama Angga Noveri dipanggil sebagai juara kelas sekaligus lulusan terbaik tahun
ini"
Perlahan
ku menuntun langkah ku keluar dari kamar. Sejenak ku berbincang dengannya lalu
pamitan. Ku masih menolak membawakan kereta baru yang seminggu lalu beliau
belikan untuk ku. Bunda mengerti, aku punya banyak teman yang nasipnya setiap pagi naik angkot
dan jalan kaki kesekolah. Dengan kereta itu ku tak mungkin memboncengi mereka,
semuanya. Lagi pula jalan kaki bisa menjadi sport pagi buatku. Ku terus berpacu
dengan waktu berjalan kaki melewati jalan pintas yang sudah sering
mengantarkanku kesekolah tepat waktunya.
Jam
07.30 ku sampai di depan pintu garbang sekolah.
“alhamdulillah…….!
Untung saja…….!” Desahku berulang – ulang. Kuraba dada ku yang berdegub kencang
dan terus mempercepat langkah memasuki pekarangan sekolah. Betapa ku sangat
lega, karena pintu garbang belum terkunci dan satpam yang hitam tinggi besar
itu tidak terlihat batang hidungnya. Ku sangat khawatir kalau sampai harus
berurusan lagi dengan dia seperti tempo hari.
“hei…….!!!
Berhenti……..!!!”. Dhaaaaar…teriakan itu bagai gemuruh halilintar yang serta
merta menyambar langkah ku. ku yang baru saja beberapa langkah melewati pintu
garbang memasuki pekarangan sekolah tersentak kaget dan terpaksa kuhentikan
laju langkahku mendengar bentakan itu.
Beberapa
siswa yang sedang berjalan tak jauh dari ku, langsung berlari memasuki
pekarangan sekolah. Ku coba tenagkan detak jantungku yang tak beraturan. Aku
gugup dan pucat. Tak obahnya seorang narapidana yang dihadapkan ketiang
gantungan. Ku tak habis pikir, ada-ada saja rintangan dan halangan yang
menghambat setiap perjuangan ku. Padahal setiap harinya ku takpernah lupa
mengisi daftar kegiatan harian ku. Dan disana tidak ada sisa waktu ku barang
sedetikpun untuk yang namanya rintangan dan halangan. Tapi nyatanya seakan
semua waktu ku tersedia untuk semua rintangan dan halangan itu. Tidakkah tuhan
mengizinkan ku mengecap pendidikan ditempat ini lagi? Tidakkah tuhan meridhai
ku bangkit untuk memperbaiki setiap keterpurukan hidup demi secercah harapan,
bahagia dan membahagiakan bunda?.
Perlahan
ku menoleh kebelakang mencari sumber teriakan itu. Ternyata dugaan ku salah.
Bukan satpam, tapi tiga berandal berbadan kekar yang teman-temanku bilang
seminggu ini mencari-cari ku. Sepertinya mereka sudah dari tadi menunggu
kedatanganku. Ku lihat sosok bringas itu terus berjalan kearah ku
Hei gembel.....!!!
berhenti....!!!
Rasa takut
bercampur gundah memenuhi relung jantungku yang berdetak semakin tak beraturan.
Ku tak ingin kembali berurusan dengan satpam itu. Ia memanggil ku gembel jangan-jangan karna ku tidak memasukkan baju kedalam
celana. Perlahan ku menoleh kebelakang mencari
sumber teriakan itu.Ternyata dugaan ku salah. Bukan satpam tapi tiga berandal gondrong, berowokan dan berbadan kekar. Tak
salah lagi! merekalah yang akhir-akhir ini sering mencari-cari ku, kata Arif. Ku
lihat sosok bringas itu menuju kearah ku.
“kak Angga…….! Lari kak…….! lari kak……!”.
Seketika perhatianku
pada brandal itu buyar mendengar suara teriakan lela. Ya! Itu suara lela. Suara itu tidak asing lagi di telinga ku. Perlahan ku
menoleh mencari sumbernya sambil memastikan siapa pemiliknya. Ku lihat Aspalela berdiri di pekarangan sekolah didampingi tema-temannya. Itu dia Aspalela,
sahutku dalam hati. Ku percepat langkah ku memasuki zona aman, pekarangan
sekolah. Ku tak ambil peduli dengan brandalan itu lagi. Ku terus berjalan
sambil tersenyum pada mereka yang mendukungku. Hati ku semakin damai ketika pak
satpam keluar dari kantor menuju pintu gerbang yang sudah waktunya ia kunci.
Akhirnya aku
sampai diruang kelas. Perlahan ku masuk dan mengucap salam buat teman-teman ku
yang sedang menanti guru pengawas ujian. Sepontan mereka bersorak menyambut
kedatangan ku. Aslan, siketua kelas langsung mendendangkan selawat..
"thalaal badru
alaina minsaniyyatil wada`hahahaaaaa..." suasana kelas pun riauh menertawaiku.
Ada-ada saja tingkah mereka. Aku hanya tersenyum bahagia menyikapi canda
tawa mereka. Itu wajar buatku yang sudah lama menghilang dari bangku sekolah. Jujur
saja sebenarnya akupun sudah lama merindukan canda dan tawa bersama mereka. Dan
hari ini mereka membuatku puas dan lega.
Tak lama
kemudian pengawas ujian pun masuk
membagikan soal ujian.. Suasana kelas hening seketika.
“Bismillah,
selamat bekerja” salam pengawas.
Bayangan bunda
berkelebat di mataku. Seakan ia tersenyum padaku. "Oh bunda demi
engkau akan ku tuntaskan perjuangan ini dengan sempurna".
Tanpa terasa
mulus dan indahnya hari-hari ku jalani bersama teman-teman. UAN dan UAS telah
kuikuti dengan penuh semangat dan tanpa hambatan apapun. Berandalan itupun
tidak pernah muncul lagi. Namun demikian hatiku masih saja dibalut resah dan
penasaran. Siapa sebenarnya berandalan itu dan apa mau mereka mencariku.
Huuuufffff..... kumenghela nafas panjang mencoba melupakan brandalan itu. Aku
khawatir kalau mereka masih saja mengintai dan menunggu kesempatan yang tepat
untuk menyergapku.
Ternyata, apa
yang selama ini kukhawatirkan itu benar. Senja itu, kala sepoi-sepoi angin
bertiup dari puncak bukit menyusup kebun-kebun kurma yang rimbun, membelai ladang
gandum yang menguning dan menghempas badanku yang sedang bersandar dibawah
pohon palem yang rindang, tak jauh dari pekarangan rumah. Sebuah avanza silver
yang ditumpangi pria bersenjata laras panjang melintas. Meraka tidak lain
adalah anteknya Yahudi Israel yang sedang menyusup dalam misi memblokade dan
menguasai tanah kelahiranku, Palestina Merdeka. Jantungku berdegup kencang
decemkram kegelisahan melihat tiga berandal yang mencegatku tempo hari ada
diantara mereka. Barulah dapat ku mengerti kenapa ku terus diincar oleh mereka.
Jangan-jangan mereka telah mengetahui kalau aku adalah saksi kunci atas terbongkarnya beberapa kasus penyelundupan
narkoba dan penculikan anak-anak pertengahan bulan lalu.
Bersambung........