"Kak.....!" seru Lela sambil mengisak tangisnya. Ku semakin iba
melihatnya, ia sangat trauma dengan kejadian tadi, tapi
disadari atau tidak, kejadian itu adalah kesalahannya sendiri. Inilah akibatnya
berpergian tanpa didampingi mahramnya.
Terlebih lagi ditengah suasana yang sangat rawan seperti ini. Itulah mengapa Islam mengharamkan wanita bepergian tanpa
didampingi keluarganya. Sesungguhnya Islam tidaklah melarang sesuatu yang terkadang kita senangi kecuali untuk mengantisipasi besarnya akibat yang sangat tidak diharapkan.
Akhirnya ku terpaksa ikut mengantarkannya pulang. Sepanjang perjalanan tidak ada tatapan, tidak ada percakapan diantara
kami. Masing-masing memikirkan tragedi yang sangat tragis itu. Subhanallah...!, maha kuasa Allah, tanpa ku sadari lewat
goresan keresahan Ia telah mengundangku untuk menyelamatkan
Aspalela. Tak terbayang olehku bakal sanggup menghalau grombolan Israel itu.
Ini benar-benar kuasa Ilahi yang sangat
spektakuler yang tidak kan pernah bisa ku lupakan sepanjang hidupku.
Di sela- sela lamunan, ku amati Pak sopir yang sepertinya jua trauma melihat kaos
putih dibalik jaketku berdarah-darah. Duh, ya Allah..., punggungku sangat perih..., ya Allah aku terluka, ku pusing dan mataku berkunang-kunang, darahku terus keluar bercucuran membasahi kaos dalamku. Ku pejam mataku menahan perih dan deru nafasku. Ku terus berusaha menyimbangkan diri agar tidak jatuh
pingsan sebelum mengantarkan “Ratu Shaleha” itu sampai ke rumahnya. Sempat ku
tegur pak sopir untuk mempercepat laju mobilnya. Keringat dingin membasahi
jidatku. Deru nafasku mulai
tersendat-sendat sesak tak ubahnya seekor duyung yang dihempas ke pantai dan terjebak ditengah gundukan pasir. Tak lama kemudian, ku mendengar suara Aspalela meminta taksi berhenti.
Sekilas ku lihat keluar jendela mobil hujan telah reda. aku semakin
lemas dan tak berdaya.
”Kak..... kita pada sampai! Yuk turun.
Ayah-bunda sudah menunggu kakak, kita mampir dulu..” sapa lela menyedarkan lamunanku.
Lagi-lagi
ku tak menyadari kalau dalam perjalanan tadi Lela “nelpon” ke rumahnya, Lela sudah menceritakan semuanya ke orangtuanya
tetang kejadian tadi. Lela juga bilang kalau aku hari ini jadi malaikat penolongnya yang
ke-seratus-an kalinya...
Ku tatap gadis polos itu dengan tatapan lesu. Ku fahami betapa setiap
kata-kata yang terucap oleh lisannya itu selalu apa adanya, lisan dan hatinya selalu
bersatu dan selalu terbuka. Bahkan ketulusan yang tampak oleh ku jauh lebih
tulus didalam lubuk hatinya yang paling dalam. Kepolosan dan kelembutan hatinya
itulah yang selalu membuatku terharu dan selalu
menuntunku untuk mengerti isi hatinya yang tidak pernah
surut dan pudar ditelan masa. Bukan cuma itu, kehidupannya
yang jauh lebih agamis membuatku tak henti memujanya dengan sebutan “Ratu
Shaleha”. Seorang gadis yang bukan saja berkerudung, bercadar dan berkapaian
muslimah, tapi juga selalu menjaga diri dari pergaulan bebas dan tak pernah
tersentuh lelaki. Subhanallah...! inilah mutiara yang sangat mahal harganya.
Perlahan ia membuka pintu taksi. Lagi-lagi kuterpana, bukan tangannya, tapi sarung tangan yang di pakainya.
Letter Z yang tersemat desebelah kanannya adalah jahitan ummi. Tak salah
lagi, sarung sutera itu adalah hadiah ultah yang pernah kuberikan dua tahun
lalu. Aku tak mengira kalau sarung tangan
bersulam sutera itu masih ia simpan dan terus ia kenakan disetiap ultahnya. Perlahan ia Turun tepat didepan sebuah bangunan mewah
yang dikelilingi pagar beton. Lewat celah jeruji pintu gerbang yang megah itu
dengan jelas bisa ku pandangi betapa indahnya panorama disekeliling rumah yang
layak kusebut istana itu.
”Kak, yuk..?.” tegurnya lagi. Sadarku ternyata gadis yang ku kenal dengan
kesederhanaan pakaian muslimahnya itu ternyata tinggal di istana yang
sangat indah dan mewah. Sepatah katapun tak sangup ku ucap jadinya. Semuanya
karam dicengkram kebisuan panjang berbaur kekaguman yang tiada bertepi.
Perlahan aku keluar dari taksi,
pikiranku semakin tak menentu. Ku cuba tuk
tersenyum pada lela, tapi resah
gelisah tanpa ampun bertubi-tubi menghujam batin ku, ngilu.., galau..., tiba-tiba pandanganku kabur, yang ada hanya kelam, yang ada hanya
hitam, hitam.., bukan awan tapi pekat kelam yang amat
hitam diantara sadar dan tidak. Berkali-kali ku mencoba mengungkapkan ketakutanku dan
meminta sopir taksi yang lugu itu memapahku, tapi lidahku telah kelu, gerahamku seakan terkunci rapat..
”kak.. cukup bengongnya..!. malam ini adalah malam ultah Lela..., kakak
harus menghadirinya......”. Itulah
penuturan terakhirnya yang terdengar oleh ku.
Ku jatuh dan tak sadarkan diri. Melihat ku yang sedang ia cakapi tiba-tiba saja roboh tak
berdaya, seketika Lela berteriak histeris minta tolong. Ia benar-benar larut dalam kebahagiaan bertemu
denganku lagi, sehinga ia tak menyadari kalau sebenarnya tadi aku terluka parah saat menjadi malaikat penolongnya. Dua
sabetan belati berandal itu berhasil mengenai punggungku. Sabetan yang dalam itu ku senbunyikan dibalik jaket dan terus
kusandar erat ke bangku taksi. Berulang
kali diantara sadar dan tidak ku mendengar isak tangis Lela dan cakapan mama
papa lela. Satpam dan sopir taksi memboyongku ke
RSU AS-SYIFA, rumah sakit terbesar di Ibukota
palestina yang kebetulan letaknya tidak jauh dari
situ.
Selang beberapa jam barulah ku siuman. Ku teringat kalau aku belum salat maghrib,
sedangkan waktu i`sya pun telah tiba. Perlahan ku buka mataku, ku tatap Bundaku tercinta menderai air mata disamping kepalaku, ku tatap wajah pilu nan lesu penuh duka Lela dan sahabat-
sahabat ku tersayang. Semuanya berkumpul disekelilingku, di sekeliling ranjang tempatku dibaringkan, di ruang yang seba putih itu. Perlahan ku kerahkan segenap sisa
tenagaku untuk bangkit dan menyapa mereka, dan tentunya merangkul bundaku yang sedang bertilam duka. Bismillah...,
perlahan akhirnya ku bangkit. Anehnya, begitu ku bangkit tubuh ku tak ikut
bangkit. Ku merasakan sebuah keanehan, dimana ku terpisah dari jasad ku yang lemas tak berdaya, ku kaget ada
apa gerangan dengan ku. Perlahan dan pasti ku tak lagi menyaksikan seorangpun yang tadinya ada
disekeliling ku..
"Bunda...!, bunda....!, Angga disini bunda...!". Batin ku menjerit memanggil bunda. Tapi tak seorangpun
yang mendengarkan ku.
"Dik Lela....., engkau dimana...???, lela...., kakak disini....!" kembali batin ku menjerit dan terus saja menjerit, tapi
sayang seribu sayang tak ada satu makhluk tuhan pun yang mendengar jerit tangis batin
ku.
"Oh tuhan....!, padamu ku bersimpuh, tempat ku megiba dan megadu. Dimanakah kini ku
berada?, ada apa dengan
ku...?”. Puncak keresahan tiba kala ku merasa jiwaku seakan tak
lagi di alam raya yang nyata, tapi ku tak tahu dimana. Setiap kabut yang ku lewati ku dapati pancaran cahaya dan
panorama yang begitu unik dan asing, panorama yang belum pernah ku jumpai sepanjang
perjalanan hidupku. Tiba-tiba saja ku terdampar ditengah padang pasir yang tandus dan
gersang. Sejauh mataku memandang yang ada hanya
tandus, yang ada hanya gersang. Tiada satupun pokok kayu atau bangunan untuk ku
bernaung dari panasnya matahari yang terus membakar kulitku. Terik dan
panas membahana sinarnya seakan tak sabar lagi me-luluhlantak-kan otak dan
dagingku. Nafasku tersekat dalam tangisan menahan resah gelisah yang bercampur
sedih pilu dan duka yang mendalam...
Kutuntun langkah ku diatas hamparan pasir yang tiada bertepi itu. Ku
berjalan dan terus berjalan kesana kemari sambil berteriak memanggil
setiap oarang yang pernah ku kenali, tapi tak seorang manusia pun yang ku temui. Yang ada hanya
pasir, pasir dan pasir. Dada ku sesak, nafas ku tersekat, dan kerongkonganku
kekeringan. Ku coba basahi dengan liur ku, liurku pun telah lama kekeringan. Ku rasakan dahaga yang teramat sangat, dahaga
yang maha dahsyat yang belum pernah ku rasakan sepanjang hidupku. Tiba-tiba angin
yang berhawa panas menerpa keras wajah ku, membuat ku terhuyung-huyung dan jatuh bertekuk lutut. Ku
mulai pasrah tak berdaya. Habis sudah air mata ku mengis, habis sudah suara ku berteriak, tapi takseorang
pun yang melihat ku, tak seorang pun yang mendengarkan jerit tangisku. Tak
seorang pun yang bisa ku temui untuk kutanyai posisiku, untuk
kutanyai apa salah dan dosa ku dan dimana kini bunda dan seluruh kerabatku.
"Nak.... anak ku....!", tiba-tiba ku mendengar sayup-sayup sapaan yang sudah tak asing lagi di telingaku. Ku
toleh ke kiri dan ke kanan mencari sumbernya, namun tak seorang pun disana.
"Anakku...!, bungunlah...!, bunda disini..", sapaan itu kembali tengiang, ngiang yang teramat dekat, tapi kenapa ku tak mampu melihatnya, bundakah
yang memanggilku, atau pendengaranku yang salah. Batin ku gemuruh. Tiba-tiba seorang wanita setegah baya
dengan pakaiannya yang serba putih berdiri tepat dihadapanku, dia
tak lain adalah bunda ku.., wanita yang paling ku sayang dan ku hormati sepanjang
hidupku.
"Bunda....!". Ku mengiba keharuan sembari bangkit dan merangkulnya. Puas ku menangis
dalam pelukan bunda. Tak ubah seorang banyi balita yang
bermanja dipangkuan ibunya.
"Nanda...!, bunda tahu kalau nanda terdampar ditengah padang pasir yang tak bertuan ini. Dan sekarang
sedang dilanda kehausan yang teramat sangat. ini bunda bawakan semangkuk air
buat nanda...ambillah," papar bunda polos sembari melepaskan pelukannya. Melihat putih jernihnya
air dalam mangkuk bening ditangan bunda, ku semakin tak sabar untuk meneguk
sepuasnya. Seketika itu ku bergegas mengulurkan tangan mengambilnya.
"Tunggu nanda..., baca basmallah dulu..” tegurnya mengigatkan ku. Tanpa buang-buang waktu daku
pun membaca basmallah dan do’a.
"Setelah basmallah, ada satu pinta bunda yang harus nanda laksanakan, baru
setelah itu nanda minum airnya.”
"Apa itu bunda...?, tanya ku tak sabar. Katakanlah bunda...!, insya-Allah dengan senang hati nanda akan penuhinya". Ungkap ku polos.
"Katakanlah tuhan itu dua"
"Bunda...,sergah ku kaget. kenapa bunda???, kenapa itu yang bunda pinta?, itu namanya
menyekutukan tuhan, itu syirik, syirik itu dosa besar bunda. Nanda tidak akan melakukan dosa yang tidak ada ampunannya
itu..." Mendengar
bantahanku sejenak bunda terdiam lalu bunda tersenyum tanpa merasa bersalah
sedikitpun kemudian melanjutkan kalamnya.
"Baiklah, nanda katakan saja Nabi
Muhammad itu dusta dan ia bukan rasul
tuhan"
Mendengar
pinta bunda yang tak ada bedanya itu ku
menangis mengharu biru sampai hilang suaraku. "bunda..., itu sama saja.....!. Mengingkari kerasulan Muhammad itu juga syirik bunda..."
"Anak cerewet...!, susah payah bunda telah melahirkan dan
membesarkan mu. Mana balasan untuk sembilan bulan ibu mengandungmu?, mana balasan untuk semua malam ibu
menemanimu?. Mana balasan untuk mengobatimu dikala
sakit?, mana balasan untuk mendo’akan kamu?, mana balasan untuk susah payah mengurusmu?, mana balasan untuk semua makanan, mainan dan pakaianmu?. Satu saja pinta bunda enggan engkau laksanakan. Dasar engkau anak
durhaka...." teriaknya lantang memaki-maki ku. Aku jadi serba salah dan semakin
sedih melihat wanita yang paling ku sayang dan sangat ku hormati
itu menangis tersedu-sedu karena ku menolak permintaannya.
"Bunda... maafkan nanda... bunda jangan bersedih lagi..." hiburku.
"Baiklah, penuhi dulu satu pinta terakhir bunda...!, katakanlah
Nabi isa anak tuhan!"
"bunda...!, tebas saja leher nanda dan bakar saja nanda hidup-hidup, itu lebih baik
bagi nanda daripada harus memenuhi pinta bunda yang satu ini. Isa As. itu
seorang nabi, nabi itu makhluk tuhan. Isa itu makluk tuhan, bukan tuhan.
Tuhan maha esa. Tiada sekutu baginya.
Lailaha Illallah. Muhammadarrasulullah."
Tiada
pudar walau di telan masa, apalagi disekat jurang kematian, kupertanyakan kicau
burung dan cahaya yang pergi begitu
saja. Ooo…! tiada kasih yang abadi seabadi kasih- Mu, tiada cinta yang sejati
sejatinya cinta- Mu, tiada tempat ku mengadu, tiada tempat ku merayu, selain
Engkau. Tuhan ku..! Subhanallah, secercah
cahaya dan kicau burung yang sedari tadi ku pertanyakan ku dapati. ternyata tuhan mendengar
tangis dan isak munajah dalam kerendahan
hati ku. ..!, tapi……, inikah kicau burung?, inikah cahaya indah itu?, Ku sadar,
tidak….., oh tidak..!, ku mulai menyadari bahwa sungguhnya cahaya yang ku
dapat bukanlah pandangan indah taman melati tempat kupu – kupu menghibur diri
dalam kepak sayapnya, melainkan wajah orang – orang yang
ku sayang, wajah orang – orang yang ku
cinta menderai air mata. Kicau burung sayup – sayup sampai yang kudengar hingga
jelas ku dengar ternyata isak orang – orang yang ku sayang, ternyata
tangisnya orang – orang yang ku cinta.
Oh tuhan, ternyata ruangan serba putih
tempat ku terbaring lesu adalah rumah tempat berkumpulnya orang – orang sakit.
Ada apa gerangan..? apa ku sakit ?. apa ku sudah gila?, Kenapa ku tak sadari semua ini.., lama ku peras otak mereka ulang apa sebenarnya yang
terjadi, ada apa gerangan.
Akhirnya ku ingat kalau satu jam yang lalu ku terluka parah sat
menolong Aspalela dan kehabisan banyak darah.
Perlahan ku kubuka mata. Kulihat banyak
orang mengelilingi jasadku yang terbujur dipembaringan. Air mata ku meleleh
membasahi pipi, menatap orang-orang yang ku sayang dan orang- orang yang ku cinta mengisak pilu seakan tak merelakan kepergian ku. Sejenak
ku berfikir, mungkin karena tangis merekalah daku dikembalikan ke kejasadku. Padahal baru saja ku
melewati padang sakratul maut. Bahkan atas izin Allah ku selamat dari tipuan
syeitan yang hendak merampas iman ku.
"unda....! lela......! sahabat
ku......!! kenapa kalian menangis??! Hentikan...!!!!” lirih ku menghentikan tangis
mereka. sepontan mereka terdiam dan menatap ku penasaran. Seakan mereka tak
percaya kalau aku masih hidup. Mereka mengira ku telah mati. Deru tangis mereka
kembali pecah, pecah bukan karna kesedihan tapi karna bahagia melihat ku siuman
kembali. AKu pun menangis bercucuran air mata
hingga cucuran itu kering, bercucur, mengering hingga bercucuran kembali. Ku
meraung tangis dalam pelukan bunda. Sempat daku memohon kesabaran dan ketabahan mereka.
"Izrail As.. telah datang. Sekarang buktikan
sayang mu tanpa pekik tangisan. karna tangis mu membuatku sengsara didalam
badan. Iangatlah setiap yang bernyawa pasti akan mati. Doakan dan relakanlah
kepergianku memenuhi janji-Nya. Antarkanlah aku dengan talbiah pencipta". Pinta
terakhir ku. Kulihat Izrail mengeluarkan sehelai daun bertuliskan
basmallah dan memperlihatkannya padaku sembari menyalamiku dan mengajak pergi
bersamanya.
”Lailahaillallah
uhammadarrasulullah.......!!!.
La.....ila......ha illallah,
muham.....madarrasu.......lullah.......!!!.
La.....ila......haillallah,
muham.....madarrasu.......lullah.......!!!.”
Keheningan
pagi nan indah diwarnai hijaunya pepohonan dan kicauan yang merdu.
Langit yang
cerah Menyelimuti kepergianku.
Jasadku terbaring sayu Diatas pembaringan.
Terbungkus rapi.
Harumnya
dengan taburan wewangian,
Menyengat
dalam dada.
Aku
bagaikan burung Yang ingin terbang tinggi keangkasa lepas mencari cinta~Nya.
Diiringi Syahdunya nyanyian shalawat dan talbiah pencipta. Bahagia bercampur
haru
Hanya
amalan yang akan menemaniku
Dialam baru
ku. kepada~Nya lah Destinasi terakhirku, Tempat yang abadi selamanya.
bersama
cinta kasih~Nya.
Sesungguhnya
Setiap Jiwa Pasti Akan Merasakan Mati.....
Kadar keimanan seseorang tergantung
pada kemampuannya menahan hawa nafsu. Semudah apa ia menuruti nafsu, semudah
itulah imannya akan terampas di sakratul
maut.
(By: al-Fath Z.A Mudi Mesra)