Lima
tahun sudah ayah meninggalkan dunia, bagiku masih terasa hidup walaupun hanya
dalam kata-kata atau tulisan dan sejumput kenangan. Kemanapun aku pergi, ayah
selalu dengan senyumnya. Cara tuturnya yang sopan, nada bicaranya yang humoris
membuatku terkekeh-kekeh hingga keluar air mata. Ayah, engkau selalu membuatku kagum, terutama caramu
membimbingku menjadi sosok yang berani dan displin, walaupun terkadang engkau
harus melibasku dengan rotan karena berbohong. Aku tak pernah dendam atas
ketegasanmu, aku malah bangga, aku rindu libasanmu, tapi engkau telah pergi
meninggalkan kami semua
Masih
terngiang ditelingaku kata-kata yang pernah engkau ucapkan “Menggapai
cita-cita tidak mudah, harus
sungguh-sungguh, rela letih, rela bangun pagi lebih cepat”.
Selalu terbayang dimataku saat engkau membangunkanku tuk shalat subuh, engkau
selalu membawa secangkir air kekamarku bila aku enggan tuk bangun, engkau menarik
selimutku dan memercikkan air ke mukaku hingga ku bangun walau terasa
berat. Sekarang ku rindu pada semua itu,
biarlah itu menjadi pelajaran dan kenangan yang amat bermakna, kelak akan ku
wariskan pelajaran itu pada cucu Ayah.
Biasanya
engkau meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan kami, mengadukan masalah yang
memang harus kusampaikan. Engkau selalu mendengarkan cerita apapun, terutama
ceritaku bersaing di Ma’had dan taktikku menghafal kitab kuning.
Ayah...!
mengenangmu seperti menulis cerita panjang bagiku, sulit tuk dilupakan.
Mungnkin kekaguman anak terhadap sang ayah ialah hal biasa, tetapi yang
membuatku lebih ialah catatan harianmu. Andai saja dulu aku tau ayah mengurung
diri untuk menulis, tentu aku akan menemanimu sampai selasai. Sangat jarang
orang menulis catatan harian, apalagi seorang laki-laki. Sekarang catatan
harianmu menjadi obat rindu pelipur lara bagi ku.
Maafkan
daku yang telah lancang membuka buntalan arsip di meja kerja disudut kamar mu
stelah engkau meninggal. Aku sangat terkejut saat itu. Aku menemukan buku
setengah lusuh dalam laci meja. Dulu engkau selalu melarangku tuk merapikan
buku-buku mu.
Aku
membuka bantalan yang berisi buku. Ternyata jumlahnya lebih dari satu. Ada enam
buku yang berbada-beda, ku buka dan ku perhatikan satu persatu. Pertama ku buka
buku yang paling lusuh, sudah berdebu dan bentunyta segperti buku tulis anak
sekolah dasar sekarang., dikulit buku itu tertuls lagu kebangsaan Indonesia Raya,
tebalnya sekitar empat puluh halaman. Aku menutup hidung dengan sapu tangan
saat membuka buku itu agar debu yang beterbangan tidak menyelinab masuk ke
hidungku. Mungkin ayah menjaga buku itu dengan sangat baik, walau sudah lama
tapi masih dapat dibaca. Aku membuka halaman pertama , kulihat tulisan dengan
ejaan bahasa Indonesia yang sudah disempurnakan (EYD), tertanggal 7 februari
1979, ketika engkau berusia 20 tahun. Tulisan pertama hanya berisi empat
paragraf:
“ Tuhan....!
Aku tau,
dalam hidup ini semua atas izin mu
Tolong Aku.
Izinkan Aku
sekolah
Hidup dan
mati ku hanya pada mu
Engkau
jualah yang memberi ku makan dan minum.
Hari ini aku
meminta padamu,
Beri aku
kekuatan untuk mencari Ilmu.
Dari
penderitaanku, sekolah akan memberikan akhir dari kesengsaraanku.
Aku ingin
hidup lebih baik,
Baik untu
adik-adikku.
Ku ucapkan
Bismillah untuk hari awal ku
Kuharap
lindungan mu ya Rabb tetap menyertaiku.
Aku
ingat cerita ayah, setelah SMP dia langsung sekolah pendidikan guru yang hanya satu-satunya
di tapaktuan kabupaten Aceh selatan.
Ku
teruskan membuka halaman demi halaman, bentuk tulisan tegak bersambung. Catatan
harian ayah ternyata berisi pelajaran hidup yang berharga. Dia menulis
impiannya tuk menjadi seorang guru, guru apa saja yang penting bisa menjadikan
orang lain mengenal huruf abjad, membaca
dan menulis, dia juga menulis “Bila ingin berhasil menggapai cita-cita kita
harus mengenal apa yang kita cita-citakan, supaya kita tau apa yang harus kita
lakukan untuk menggapainya, selain itu kita harus memiliki prinsip agar
bersemangat”
Ayah
juga menulis tentang cobaan yang dilaluinya, keadaan ekonomi yang buruk, bahkan
ayah tidak punya uang untuk sekolah, apalagi ada empat orang adik dibawah
tanggungjawabnya. Mereka menggais rezki dari hasil kebun dan sawah. Ayah tidak
sempat merasakan belas kasih seorang ibu. Ibunya meninggal saat ia berusia dua
belas tahun. Dalam keadaan sulit, ayah tetap memilih tuk sekolah. Hidupnya jauh
lebih sulit dibandingkan aku sekarang.
Setelah
ayah meninggalkan kami, kami masih dapat menikmati gaji pensiunmu. Kami dengan
mudah dapat menentukan sekolah mana yang kami mau. Aku bangga dan bahagia atas pendidikan yang ayah berikan.
“
Kesabaran yang membuat kita berhasil”, katanya dalam catatan harian.
Setelah
ayah menjadi guru sekolah dasar, ayah mampu memberi pendidikan kepada
adik-adiknya dari gaji yang didapat dari jerih payahnya. Pada saat yang hampir
bersamaan ayahku juga bertemu dengan seorang perempuan yang menjadi ibuku
sekarang, mereka melangsungkan perkawinan, tapi perkawinan mereka hanya lima
belas tahun, aku ingat betul masih berusia dua belas tahun ketika ibuku
meninggal, saat itu ayah sangat berduka karena kehilangan orang yang ayah
cintai sama seperti dukaku karena aku sangat membutuhkan kasih sayang dan
belaian dari seorang ibu, ibu pergi tuk selamanya, ibu pergi saat melahirkan
adikku, dan duka ku terus bertambah ketika ayah meninggalkanku setelah enam
tahun ibuku wafat. Hidup begitu sepi jika harus dijalankan tanpa ibu dan ayah,
tapi tidak masalah, ku yakin Allah maha melihat dan akan selalu bersama
hambanya.
Aku
buka buku lain, yang terlihat lebih bersih, tidak berdebu, tintanya basah karena
lembab, menurutku buku ini ialah buku terakhir yang sempat ayah tulis sebelum
meninggalkan kami, ayah menulis tanggal sebulan sebelum ayah meninggalkan kami.
“Tuhan...!
Selesai
tugasku, aku tinggalkan anak-anak di dunia.
Mendo’akanku
jika aku kesulitan dialam barzah
Sebelum
tubuhku terbaring dibawah taburan
kamboja.
Aku
ingat, sebelum meninggal, engkau sempat bicara pada kami, anak-anakmu, di meja
makan. Nasehatmu masih ku ingat benar dan ternyata engkau tulis juga dalam
catatan harianmu.
Izinkanku
menyampaikan sepatah kata untuk anak-anakku di Dunia, jagalah tiga hal yang
membuatmu lupa diri:
Pertama:
Jika kamu berada di majlis jagalah lidahmu
Kedua:
jika kamu berada di meja makan, jagalah perutmu
Ketiga:
Jika kamu sendiri, jagalah hatimu.
Ku
tutup buku itu dengan hati yang baru, ayah yang baik meninggalkan pesan sebelum
meninggal. ayah seperti tahu kapan ayah meninggal. telah ku bukukan buku harian
itu sebagai hadiah ulang tahunmu, walau engkau tak bersama kami lagi, pada 31
desember 2006. Kukemas lagi buku harian ayah dalam buntalan dan kusimpan
kembali dengan rapi.
(Kisah nyata ini diceritakan oleh Ijlida Arkas, Aceh Singkil)