عالم
قريش يملأ طباق الارض علما
Ada seorang Ulama quraisy yang Ilmunya memenuhi bumi
(al-Hadits)
Imam Syafi’i
adalah imam ketiga dari empat mazhab menurut urutan kelahirannya. Beliau adalah
“Nashirul Hadits,” pembela hadits dan “mujaddid”, pembaharu abad kedua
hijriyah.
Menurut
kebanyakan ahli sejarah bahwa Syafi’i dilahirkan di Ghaza, Palstina, tahun 150
H (767 M). namun ada yang mengatakan lahir di Asqalan, yaitu daerah yang kurang
lebih 3 farsakh (8 km atau 3,5 mil) dari Ghaza, dan perjalanan dua tiga hari
dari Baitul Maqdis.
Imam Nawawi
berkata, “Menurut jumhur, Imam Syafi’i lahir di Ghaza.” Diriwayatkan bahwa Imam
Syafi’i lahir pada malam hari bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah. Jika
riwayat ini benar, maka itu adalah kejadian yang menakjubkan, yakni lahirnya
seorang imam bertepatan pada wafatnya imam yang lain.
Nama lengkap
beliau adalah Abu Adbullah Muhammad bin Idris bin 'Abbas bin Utsman bin Syafi’
bin Sa-ib bin Ubaidillah bin Abi Yazid bin Hasyim bin Muththalib bin Abdul
Manaf (kakek Nabi Saw). Ibunya bernama Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Asy-Syafi’i
lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ayahnya meninggal ketika beliau masih
kecil. Kemudian ibunya membawa beliau ke Mekkah. Beliau hidup sebagai anak
yatim yang fakir dari keturunan bangsawan tinggi, keturunan yang paling tinggi
di masanya, Asy-Syafi’i hidup dalam keadaan sangat sederhana. Namun,
kedudukannya sebagai putra bernasab mulia menyebabkan ia terpelihara dari
perangai buruk, selalu berjiwa besar, dan tidak menyukai kehinaan diri.
Pada usia
dua tahun imam Syafi’i dibawa ibunya ke Mekkah dari Guzzah yang merupakan tanah
tumpah darah asli bagi nenek moyang imam Syafi’i. Pada usia yang relatif muda,
yaitu umur sembilan tahun, imam Syafi’i telah mampu menghafal al-Qur’an.
Disamping kecerdasan menghafal al-Qur’an, Beliau juga rajin menghafal al-Hadits
yang beliau dengar. Imam Syafi'i juga menghafal kitab gurunya, al-Muwath-tha'
saat beliau baru berumur sepuluh tahun.
Imam Syafi’i
hidup di tengah-tengah masyarakat Mekkah kemudian pindah ke kota Madinah. Kedua
kota ini adalah bumi Hijaz yang merupakan tempat perbendaharaan sunnah
(Hadits). Kota ini tidak begitu ramai dengan berbagai kebudayaan sebagaimana
kota-kota lainnya.
Pada awalnya
Imam Syafi’i cenderung kepada syair, sastra dan belajar bahasa Arab
sehari-hari. Tapi dengan demikian Allah justru menyiapkannya untuk menekuni
fiqh dan ilmu pengetahuan. Terdapat beberapa riwayat yang menyebabkan Imam
Syafi’i seperti itu diantaranya adalah :
Suatu hari,
di masa mudanya ketika ia berada di atas kendaraan. Di belakangnya terdapat
sekretaris Abdullah az-Zubairi. Lalu asy-Syafi’i membuat perumpamaan dengan
sebuah syair. Maka sang sekretaris itu memukulkan cambuknya layaknya seorang
pemberi nasehat dan berkata, “Orang seperti anda mencampakkan kepribadiannya
seperti ini? Bagaimana perhatian anda terhadap fiqh?” hal ini mempengaruhi
dirinya dan membangkitkan semangatnya untuk bergegas belajar kepada Muslim bin
Khalid Az-Zanji, Mufti Mekkah.
Imam
asy-Syafi’i menuntut ilmu di Mekkah dan mahir di sana. Ketika Muslim bin Khalid
Az-Zanji memberikan peluang untuk berfatwa, asy-Syafi’i merasa belum puas atas
jerih payahnya selama ini. Beliau menuntut ilmu terus dan akhirnya pindah ke
Madinah dan bertemu Imam Malik di sana.
Sebelumnya
beliau telah mempersiapkan diri membaca kitab al-Muwaththa' (karya Imam Malik)
yang telah dihafalkannya. Ketika Imam Malik bertemu dengan asy-Syafi’i,
Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah Swt. telah menaruh cahaya dalam hatimu,
maka jangan padamkan dengan perbuatan maksiat."
Mulailah
asy-Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa bersamanya hingga Imam Malik
wafat pada tahun 179 H. selama itu pula beliau mengunjungi ibunya di Mekkah.
Kemudian pada tahun 195 H. Imam Syafi’i mengembara ke Baghdad, yang merupakan
kota yang sudah maju peradaban masyarakatnya pada waktu itu. Di kota ini Imam
Syafi’i menetap beberapa tahun lamanya sebelum beliau melakukan perjalanan ke
kota lainnya, yaitu Mesir pada tahun 199 H. dan beliau memilih kota ini sebagai
tempat tinggal. Di Baghdad beliau belajar Ilmu Fiqh Madzhab Hanafi, yang
terkenal dengan madzhab Ahlul Ra’yi (Ahli pemikiran). Sebagaimana di Hijaz yang
tradisional beliau cenderung kepada sifat itu, maka di kota Irak pun beliau
cenderung pada kondisi Irak, yaitu kota yang terkenal dengan Ahlu Ra’yi.
Imam Syafi’i
telah mendengar berita tentang kebesaran ulama di Irak seperti Abu Yusuf dan
syaikh Muhammad Ibn Hasan, maka beliau berkehendak untuk bertemu dengan mereka.
Di kota ini beliau berguru kepada Muhammad Ibn Hasan seorang tokoh ahli Fiqh.
Maka terkumpullah pada diri Syafi’i beberapa ilmu dari para ahli Hadits dan
Ra’yu.
Asy-Syafi’i
banyak mengambil manfaat dari beberapa kitab Muhammad Ibn Hasan dari pelajaran
Fiqh Irak dan perdebatannya dengan beberapa ulama’ fiqh di sana. Dari sini, ia
bisa mempersiapkan diri mengkompromikan fiqh madinah dan fiqh Irak, atau fiqh
tekstual dan fiqh kontekstual, sehingga membantunya meletakkan dasar-dasar
ushul fiqh, dan kaidah fiqh (qawaid al-fiqhiyah), menjadikan ia terkenal,
disebutsebut namanya dan terangkat derajatnya.
Pengetahuan
asy-Syafi’i terbentuk dari beberapa sumber. Antara lain, guru, bacaan dan
belajarnya, serta perjalanannya ke Yaman, Kufah, Bashrah, Makkah, Baghdad, dan
Mesir. Ada juga dari perdebatan yang serius di masanya antara para pakar
teologi dan filsafat, pakar fiqh dan ulama hadits dan sebagainya, serta
pemikiran dan perenungannya terhadap ilmu dan lingkungan yang kesemuanya itu
sangat dominan dalam membentuk wawasannya yang sangat luas.
Dengan bekal
pengetahuannya, beliau melangkah untuk menyampaikan berbagai kritik dan
kemudian mengambil jalan keluarnya sendiri. Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan
gurunya (Imam Malik). Perbedaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga beliau
menulis buku yang berjudul “Khilaf al-Malik” yang sebagian besar kritik
terhadap pendapat (fiqh) madzhab gurunya itu, beliau juga terjun dalam
perdebatan-perdebatan sengit dengan madzhab Hanafi dan banyak mengeluarkan
kritik sebagai koreksi terhadapnya.
Kritik-kritik
imam Syafi’i terhadap dua madzhab tersebut akhirnya muncul menjadi madzhab baru
yang merupakan sintesa dari kedua madzhab (ahli hadits dan ahli ra’yu) yang benar-benar
orisinil. Namun demikian yang paling menentukan orisinilitas madzhabnya ini
adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir. Memang banyak kota di mana imam
Syafi’i mengembangkan atau menggali ilmu, seperti kota Yaman, Persi, Baghdad
dan lain-lain. Tetapi di Mesir inilah Imam Syafi’i sampai meninggalnya
dipergunakan untuk menulis sebagian besar buku-bukunya, bahkan juga untuk
merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Di kota ini pula ia meletakkan
dasar-dasar madzhab barunya yang dikenal dengan Qaul jadid (pendapat baru).
Sebagaimana
yang telah dikatakan bahwa fiqh asy-Syafi’i adalah fiqh yang lahir karena
kondisi masyarakatnya sehingga dengan adanya dua kota yang merupakan tempat
yang paling mempengaruhi teori imam Syafi’i dengan didukung keadaan yang berbeda
itu pula, maka fiqh Syafi’i juga dibedakan menjadi dua macam yakni madzhab qaul
qadim (pendapat dulu) dan madzhab Qaul jadid (pendapat baru). Madzhab qaul
qadim adalah pendapat imam Syafi’i ketika di Irak dan qaul jadid adalah
pendapat imam Syafi’i di Mesir.
Dengan
perpaduan pemikiran imam Syafi’i akibat pengaruh dari corak pendidikan dan
pengalaman dari beberapa negara tersebut, Imam Syafi’i mengkombinasikan dan
mengkomparasikan serta mendiskusikan fiqh negara Hijaz dan Irak. Kemudian
beliau menjadi terkenal dengan sebutan ahli hadits dan ahli ra’yu (pemikiran).
Dalam
madzhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an sebagai imam (dasar utama)
dalam mengambil hukum. Beliau berkata, “sunnah sejajar kedudukannya dengan
al-Qur’an karena as-Sunnah berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.” Karena itu
menurut beliau as-Sunnah ditempatkan sebagai dasar kedua setelah al-Qur’an.
Guru-guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i
menerima fiqh dan Hadits dari banyak guru yang masing-masing mempunyai manhaj
sendiri dan tinggal di tempat-tempat yang berjauhan satu sama lainnya.
Ada di antara gurunya yang Mu’tazili yang menyampaikan teori ilmu kalam yang
tidak disukainya. Beliau mengambil mana yang perlu diambil dan meninggalkan mana
yang perlu ditinggalkan.
Imam Syafi’i
menerima ilmunya dari ulama-ulama Makkah, Madinah, Iraq dan ulama-ulama Yaman.
Semula Imam Syafi’i berguru pada syekh Muslim bin Khalid Az-Zanji dan beberapa
imam Makkah. Kemudian setelah umur 13 tahun beliau pergi ke Madinah dan
berkumpul dengan Imam Malik sampai beliau wafat. Imam Syafi’i juga mempunyai
banyak guru yang beliau temui di kota-kota besar ketika beliau berkelana.
Guru Imam Syafi'ie di Makkah antara lain: Syaikh
Muslim bin Khalid az-Zanji, Syaikh Sufyan bin Uyainah, Syaikh Sa’id bin Salim
al-Qaddah, Syaikh Dawud bin Abdurrahman al-Athar dan Syaikh Abdul Hamid bin
Abdul Aziz bin Abi Dawud.
Guru beliau di Madinah antara lain: Syaikh Malik bin
Anas, Syaikh Ibrahim bin Sa’ad al-Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad
ad-Darawardi, Syaikh Ibrahim bin Yahya al-Asami, Syaikh Muhammad bin Sa’id bin
Abi Fudaik dan Syaikh Abdullah bin Nafi’ al-Shani.
Guru beliau di Yaman: Syaikh Muththarif bin Mazin, Syaikh Hisyam bin Yusuf,
Syaikh Hakim Shan’a (ibukota Republik Yaman), Syaikh Umar bin Abi Maslamah
al-Auza’i Dan Syaikh Yahya Hasan.
Guru beliau di Irak antara lain: Syaikh Muhammad bin al-Hasan, Syaikh Waki’ bin
Jarra al-Kufi, Abu Usammah Hamad bin Usamah al-Kufi, Syaikh Ismail bin Athuyah
al-Bashri dan Syaikh Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Bashri. Imam Syafi’i
menerima pelajaran dari tokoh berbagai mazhab. Beliau menerima fiqh Maliki dari
Imam Malik sendiri, mempelajari fiqh al-Auza’i dari Syaikh Umar ibn Abi
Salamah, mempelajari Fiqh Al-Laits dari Syaikh Yahya ibn Hassan dan mempelajari
fiqh Abu Hanifah dari Syaikh Muhammad ibn al-Hassan. Bahkan beliua mempelajari
fiqh pada tokoh-tokoh Mu’tazilah, walaupun dalam masalah I’tiqad mereka tidak
menempuh ahlul hadits. Justru semua inilah yang memperluas bidang fiqihnya,
memperbanyak materi dan mempertebal kamus pengetahuannya. Dengan demikian Imam
Syafi’i dapat mengumpulkan fiqh Makkah, Fiqh Madinah, Fiqh Syam, Fiqh Mesir dan
Fiqh Irak.
Murid-murid Imam Syafi’i
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa imam Syafi’i mempunyai banyak guru.
Begitu juga murid-muridnya, mereka tersebar di Makkah, Mesir dan sebagian di
Baghdad Irak, merekalah yang menyebarkan madzhab gurunya.
Diantara murid yang ada di Makkah adalah: Syaikh Abu
Bakar al-Humaidi, Syaikh Ibrahim bin Muhammad Abbas, Syaikh Abu Bakar Muhammad
bin Idris dan Syaikh Musa bin Abi al-Jarud. Murid Imam Syafi’i di Irak, antara
lain: Syaikh al-Hasan bin Muhammad al-Za’farani (wafat : 260 H), Abu Husain
al-Karabisi (wafat : 295H), Imam Ahmad bin Hambal (wafat : 241 H) dan Syaikh
Dawud ad-Dhahiri (wafat : 505 H). Sedangkan muridnya yang di Mesir antara lain:
Syaikh al-Bughaisti (wafat : 270 H), Syaikh al-Muzani (wafat : 269 H) dan
Syaikh ar-Rabi’ah (wafat : 270 H).
Generasi penerus dan penyebar madzhab Imam Syafi’i adalah
: Abu Ishaq asy-Syairazi (wafat : 478 H.) adalah pengarang kitab
“al-Muhadzdzab”, Imam Ghazali (wafat : 505 H.) pengarang banyak kitab yang
menjadi sumber muraja'ah Ulama-ulama berikutnya, diantaranya kitab
"al-Wajiz", Syaikh ‘Izzudin ibn Abdi Salam (wafat :660 H0 adalah
pengarang kitab “Qawa’id al-Ahkam Fi Masail al-Ahkam”, Syaikh Muhyiddin
an-Nawawi (wafat : 676 H) yang mengarang kitab Fiqh diantaranya “Majmu’ Syarah
Muhadzab” dan “Minhaj ath-Thalibin”, Syaikh Taqiyuddin as-Shabuni (wafat : 765
H), Syaikh Jalaluddin as-Suyuti (wafat : 791 H), pengarang kitab “Asybah wa
an-Nadhair” dan kitab “Tanwirul Hawalaik” syarah kitab al-Muwaththa’ Imam Malik
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karya-karya Imam Syafi’i
Menurut Qadhi Imam Abu Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Maruzi murid Imam
Syafi’i, mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah mengarang kitab sebanyak 113
kitab, baik dalam bidang hadits, ilmu fiqh dan ushulnya, tafsir, sastra dan
lain-lain. Yaqut menyebutkan dalam kitab “Mu’jam al-Udaba’ juz 17”, puluhan
kitab Imam Syafi’i. Yang dimaksud kitab di sini bukanlah kitab yang ada seperti
sekarang ini, melainkan beberapa bab masalah fiqh yang kebanyakan telah termuat
dalam kitabnya al-Umm. Dan kitab-kitab tersebut bisa dijadikan sebagai pegangan
dan pengetahuan yang dapat di nikmati sampai sekarang, diantaranya adalah:
a. Ar-Risalah
Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah ushul fiqh, yang di dalamnya
diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i dalam mengistinbath
hukum. Ar-Risalah merupakan kitab Ushul fiqh yang pertama. Akan tetapi sebagai
penulis ar-Risalah itu sendiri adalah murid asy-Syafi'i yaitu Syaikh ar-Rabi’
ibn Sulaiman (270 H), dan Syaikh Rabi’ inilah yang meriwayatkan dari Imam
Syafi’i tentang Ar-Risalah (karena Imam tidak menulisnya secara langsung).
b. Al-Umm
Al-Umm adalah kitab yang ditulis sendiri oleh Imam Syafi’i. Kemudian
diriwayatkan oleh ar-Rabi’. Segala yang termuat dalam kitab al-Umm adalah
pendapat Imam Syafi’i, itulah hujjah dalam mazhabnya. Kitab ini berisi
hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i yang telah dikodifikasikan dalam bentuk dan
jilid-jilid yang membahas masalah Thaharah, Ibadah, Amaliah sampai pada masalah
peradilan.
c. al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama
diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al
Karabisyi dari Imam Syafi’i.
d. Ikhtilaf al-Hadits
Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya mengungkapkan perbedaan para
ulama’ dalam persepsinya tentang hadits mulai dari sanad sampai perawi yang
dapat dipegang termasuk analisanya tentang hadits yang menurutnya dapat
dipegang sebagai hujjah.
e. Al-Musnad
Di dalam kitab Musnad isinya hampir sama dengan yang ada dalam kitab Ikhtilaf
al-Hadits, kitab ini juga memaparkan persoalan hadits, hanya saja terkesan bahwa
yang ada dalam kitab ini adalah hadits yang dipergunakan Imam Syafi’i khususnya
yang berkaitan dengan fiqh kitab al-Umm, dimana dari segi sanadnya telah
dijelaskan secara jelas dan rinci.
Wafat Imam Asy-Syafi'i
Imam Syafi'i wafat di mesir pada akhir bulan rajab
hari Jum'at tahun 204 H. setelah beliau sakit beberapa hari. Beliau
dikembumikan setelah asar pada hari itu juga.
Allahummaj'al Jannata Matswahu.....