Sore ini aku melangkah
kaki dari Ma'had (Pesantren) tercinta bukan untuk selamanya, tapi hanya untuk sementara
untuk menenangakan pikiranku di kampung halaman tercinta. Pikiran yang kacau
tak menentu arah itu, karena seorang Adam yang tak sengaja aku cintai. Aku sedih meningalkan sahabat – sahabatku
tercinta di Ma'had dan air mataku pun menetes perlahan saat mendengar
lantunan nasyid di mobil. Ya Allah...! kenapa wajahnya selalu terlintas di
fikiranku padahal sahabat – sahabatku di Ma'had selalu menjelekkannya dihadapanku.
Aku tau itu semua tidak benar. Mereka hanya ingin membuka mata dan pikiranku
supaya bisa melupakannya. Malam ini apa yang terjadi di Ma'had aku tidak
tau, karena malam ini aku sudah berada di rumah. Rasanya langkah ini sangat berbeda,
aku semakin tak menentu arah.
Keesokan harinya aku kembali
beradaptasi dengan kampung halamanku , supaya aku menemukan kembali jati diri
ku. Setiap malam aku basahi pipi ini dengan air mata dan membuat lidah ini kelu dengan bacaan al-Rahman, hati
ini terasa sesak.
"Nuzul....!, apa yang
membaut kamu sedih nak?"
"Bunda.....!". aku
hanya memandangi wajah teduh itu dan tersenyum manis.
"Nuzul capek bunda...,
Nuzul pengen isrtirahat". Lalu aku merebahkan diriku kedalam
pangkuan bunda.
Lembutnya belaian tangan sang
bunda membuatku larut dalam mimpi. Hari, demi hari, aku terlihat semakin akrab
dengan lingkunganku, dan aku juga perlahan-lahan mencoba menghapus ukiran nama
yang telah terpahat di hatiku, yaitu sayawal, seorang adam yang aku kenal di
Ma'had. Tiba-tiba hp-ku berbunyi, aku segera mengangkatnya
"Assalamualaikum".....
"Nuri.... ada apa?",
tanyaku spontan....
"Anti kapan balik
ke Ma'had?. Kami disini kangen sama anti"
Ya, insya Allah kalau tidak ada
halangan , Ana akan segera balik ke Ma'had, jawabku polos.
Akhirnya pembicaraan itu
berakhir, setealah kami berbicara panjang lebar.
Sudah seminggu aku di kampung,
aku sedikit lebih tenang sekarang. Sebuah pesan singkat masuk ke hp-ku.
"Nuzul, cepat balik
ke Ma'had. Ada masalah yang harus Ana ceritakan ke Anti".
By. Nuri.
Aku ingin menghubungi sahabatku
itu, tapi aku mengurungkan niatku. Aku hanya membalas pesannya "masalah apa?". Sudah setangah jam,
balasan dari Nuri tak kunjung datang.
Keesokannya, aku merencanakan untuk
kembali ke Ma'had.
"kenapa
tergesa-gesa?". Tanya bunda.
Ada masalah penting, bunda.
Nuzul harus segera balik ke Ma'had ".
Setelah berpamitan kepada bunda,
aku langsung berangkat ke Ma'had dengan diantar oleh paman. Rindu akan
belaian sang Bunda tak lagi bisa ku ungkapkan langsung kepadanya, karena aku sudah
berada di Ma'had sore ini. Malamnya, Nuri sahabatku menceritakan
semuanya tentang Syawal, seolah petir menyambar, hatiku tergetar seperti
gemuruh, rasanya badai yang dahsyat telah melanda. Aku tak bisa berkata apa-apa.
"Aku yakin ini adalah takdir Allah". Aku mencoba menguatkan hatiku
dari badai yang melanda. Syawal meninggalkan Ma'had untuk selamanya. Dia
ingin menimba ilmu ke negeri piramid, negri yang tandus dan mulia. "Ana
tidak bisa melihat pelangi itu lagi".
Nuri mencoba menghapus air mata
yang terlanjur jatuh di pipiku. Hari demi hari yang ku lewati di Ma'had
seakan tak berjalan seperti arah jarum jam, tapi sebaliknya, bahkan berhenti
tiba-tiba. Mungkin aku tidak akan bertemu dengan Syawal lagi, karena tidak
hanya kabarnya yang pergi ke Mesir saja
yang aku dengar, tapi soal perjodohannya pun tidak luput dari pembahasan
santriwati di Ma'had. Entah itu Cuma sekedar gosip atau fakta.
Hari jum'at adalah hari libur di
Ma'had, aku dan sahabat-sahabatku berkumpul di suatu tempat. Didalam
pembicaraan kami, tiba-tiba saja Nazwa menyinggung masalah Sayawal. Sebenarnya
mereka tidak tau tentang isi hatiku kecuali Nuri. Mendengar namanya saja aku
bergetar, butiran keringat membasahiku, ternyata aku belum bisa melupakannya.
Ya Allah....! tolong aku...!
Aku mencoba menghindar, tapi Nuri
menarik tanganku sambil berkata "la tazhabi" (Jangan pergi). Aku
kembali duduk disampingnya, Nazwa terus menceritakan tentang Syawal.
"dengar-dengar Syawal suka ama
anaknya Ust. Shadikin dan dia meminta untuk dijodohkan dengannya. Abi dan Umminya sih setuju-setuju saja....,
tapi belum tau juga, anaknya ust. Shadikin mau atau tidak?". Ujar Nazwa.
Air mata itu hanya dalam hati, tangisan hatiku yang semakin galua kurasakan, harus benar-benar ku tahan
"pastilah anaknya ust. Shadikin
setuju , lihat saja siapa Syawal itu, laki-laki yang tampan dan pintar, kan
ust. Shadikin sendiri yang mengurus semua soal keberangkatan Syawal ke Mesir", Tambah Alisa.
"kita kan Cuma dengar,
belum tentu kan berita itu benar?" bantah Nuri. Aku tau dia mencoba membuatku
tanang. Semakin ku coba untuk melupakannya ternyata aku semakin mencintainya
setiap detik tidak luput dari mengingatnya.
Malam ini, aku terjaga dari
lelapku karena memimpikan Syawal
"Astaghfirullah...!" aku segara bangun dari
tempat tidur, aku langsung mengambil wudhu' kemudian shalat malam dua rakaat,
setelah itu aku membaca al-Rahman sambil meneteskan air mata, aku mengadu
kepada tuhanku.
"Ya Allah...!, ampuni atas
segala dosaku.
Ampuni atas perasaan yang tak
halal ini.
Aku tau engkau menciptakan satu
hati untuk semua insan
Tapi kenapa aku merasakan ini
dengan seribu hati
Apa hati ini pantas untuk mengagumi sejuta kelebihan Yang ada padanya?
Biarlah keikhlkasan ku untuk
mencintainya tiada balasan"
Setelah itu aku tidur sejenak
sambil menunggu azan subuh. Aku melihat sahabat-sahabatku yang tertidur pulas,
tapi kenapa aku tidak bisa memjamkan mataku sedikitpun. Begitu juga dengan tiga
malam berikutnya, aku selalu terbangun karena memimikan Syawal. Tiba malam ke
empat, aku kembali memimpikannya, di dalam mimpiku, aku menangis, karena
kepergiannya. ternyata begitu besar cintaku kepadanya, aku terkejut dan terbangun
dari tidurku, aku meraba-raba sekelilingku yang terasa gelap gulita. Aku
menunggu cahaya terang menerangiku "kenapa lampunya tidak menyala dari
tadi,"tidak biasanya lampu di Ma'had padam dengan lama" Ujarku
dalam hati. Bagaimana caranya aku mengambil wudhuk untuk shalat malam. Aku
berusaha untuk membangunkan Nuri. Akhirnya dia pun terbangun " Nuzul, ada
apa?", tanya nuri
Aku terus berusaha memegangnya
" dari tadi aku menunggu lampunya hidup, aku takut sendirian",
jawabku.
Menunggu lampu hidup?, lampunya
tidak dimatiin kok" aku tersentak mendengar perkataan nuri. Apa?,
Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa sekarang.
"Nuzul, apa yang terjadi?
Ada nada kekhawatiran dari perkataan nuri". Aku kembali menangis, aku
menceritakan semua. Aku terkejut dari
mimpi, aku memimpikan Syawal".
"Nuri...! Aku sangat
mencintainya", air mataku seakan membanjiri Hujrah (Kamar) ku. "Nuzul,
sedalam inikah cintamu kepadanya, hingga membuatmu buta?". Nuri mendekap
erat tubuhku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah kepada Allah.
Aku tidak ingin orang tau bahwa
aku cemas. Nuri pasti bisa menjaga rahasia ini. Cukup santriwati di Ma'had
aja yang tahu bahwa aku tidak bisa melihat lagi. Guru-guruku menyarankan
agar aku pulang kampung, supaya aku bisa
periksa ke dokter, apa yang terjadi dengan mataku, tapi aku tetap bersikeras
ingin tetap berada di Ma'had Sebulan kemudian, bunda meneleponku ke Ma'had,
tapi aku menyuruh Nuri untuk menjawabnya, dengan alasan aku kuliah. Bunda
bilang beliau akan ke Ma'had jum'at
depan, tapi Nuri memberi alasan supaya bunda tidak ke Ma'had, sebenarnya
aku sangat merindukan Bunda, tapi bagaimana aku bisa melihat wajah yang teduh
itu lagi, aku masih belum bisa melihat lagi.
Bunda benar-benar tidak ke Ma'had bulan ini, beliau hanya mengirimkan
keperluanku saja. "Sampai kapan aku terus menutupinya dari bunda?".
Bulan selanjutnya pun aku terus mengelak, hingga empat bulan Bunda benar-benar
tidak menjengukku ke Ma'had seperti bulan-bulan sebelumnya. Beliau hanya
mengirimkan keparluanku saja. Kabar yang simpang siur tantang Syawal selalu
membuatku terbangun, tapi aku sangat senang, karena kabarnya anak Ust. Shadikin
ternyata telah di khitbah(di pinang)
oleh orang lain, dan itu bukan Syawal. Aku bisa merasakan bagaiman
perasaan Syawal saat ini, dia depresi.
********
Tiba hari jum'at, aku sedang
mengulang kitab dengan nuri, dia menjelaskan surah yang tertinggal, dia memang
sahabatku yang paling baik, tiba-tiba
saja aku dikejutkan dangan panggilan dari posko, pasti Bunda yang datang, apa
yang harus aku lakukan?. tidak mungkin aku menyuruh Nuri yang menemui Beliau dan menyuruh beliau pulang. Akhirnya
Aku menyuruh juga Nuri untuk menjemput Bunda
" Nuzul dimana?" tanya
Bunda kepada Nuri.
" Ada didalam, bunda. Mari
kita masuk”
Setibanya di kamar, Bunda
langsung mendekatiku
"Nuzul, panggilannya
membuatku teriris , tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa
"Bunda... !" aku
semakin terisak saat menyebutkan kata-kata itu.
"kenapa nak", tanya Bunda
kepada ku." Apa yang terjadi?"
Bunda belum tau yang sebenarnya.
aku tidak bisa menceritakannya lidah ini kelu, aku hanya bisa menangis. Bunda
bertanaya kepada Nuri dan akhirnya Nuri menceritakan semuanya. Aku memang tidak
bisa melihat wajah Bunda tapi aku bisa mendengar tangisannya
Bunda sedikit kecewa kepadaku,
selama empat bulan aku merahasiakan ini darinya, Bunda memintaku pulang, tapi
aku tetap ingin berada di Ma'had, keesokanya aku mendengar kabar Sayawal
kembali ke makhad, aku sangat senang
Seminggu kemudian seorang Ustazah
menghampiriku di hujrah, aku tertegun ketika mendengar ada seorang
lelaki yang ingin berta'arruf denganku, sungguh mustahil. Padahal Ustazah telah memberitaukan keadaanku
yang sebenarnya. Ustazah tidak memberitaukan nama lelaki itu. Apa aku harus
menerima tawaran itu? Kalau boleh jujur tidak sekeping hati pun berkurang
cintaku kepada Syawal. Aku sangat mencintainya. Nuri menyuruhku untuk membuka
hatiku untuk lelaki itu. Lelaki yang bisa menerimaku apa adanya. Orang tuaku pun
berpendapat sama. Apa salahnya berta'arruf
dulu. Menurutku tidak ada gunanya, karena aku tidak bisa melihat bagaimana
parasnya
*********
Ayah menjemputku ke makhad.
Sore ini, aku melangkahkan kaki
dari Ma'had menuju kampung halamanku. Deraian airamata seperti hujan
lebat membasahi kedua pipiku. Aku sudah memutuskan untuk menerima pinangan
laki-laki yang datang ke rumahku itu. Hati ini sungguh sakit, dalam hatiku aku
harus benar-benar merelakan Syawal. Aku bukan bagian dari tulang rusuknya.
Hatiku selalu berkata "Syawal bukan jodohku" . aku tidak pernah
mendengar suara Syawal. Aku hanya pernah memandang wajahnya yang menurutku dia
sangat sempurna. Pandangan pertama itulah yang membuat mataku buta. Subhanallah
, wajahnya membuatku terbius. Kebaikannya membuatku berpaling dari kaum adam
yang lain. Dia sungguh sempurna.
Tiba saatnya aku mendengaar
lafadh yang halal dari mulut lelaki yang telah menjadi suamiku. Hatiku seperti
teriris pisau yang sangat tajam. Orang-orang mengucapkan selamat kepadaku mereka
bilang aku sungguh sangat beruntung
"Suamimu sangat tampan, dia
bagaikan Yusuf A.S, dan dia orang yan berilmu. "Cakap salah seorang ibu
kepadaku, walaupun aku tau tidak ada lagi lelaki yang tampan luar biasa seperti
Nabiyullah, Yusuf A.S. Aku tidak ingin tau bagaimana kesempurnaannya, aku juga
tidak ingin tau siapa dia. Aku sedih, kerena sahabatku Nuri tidak bisa hadir ke
rumahku. Tidak ada penyemangat bagiku. Aku Cuma memberi tau Nuri lewat telepon
bahwa laki-laki itu sudah halal bagiku
Malamnya aku menangis dihadapan
suamiku. Aku menceritakan semua bahwa hatiku hanya untuk seorang adam yang ada
di makhad
"Aku sudah tau itu, "
kata suamiku.
Dirimana engkau tau?, tanyaku
kepadanya. Dia tidak menjawab, tapi dia malah balik bertanya, kalau boleh tau
siapa nama lelaki yang beruntung itu?. aku merasa sulit menyebut namanya , tapi
akhirnya nama Syawal terucap juga
"Apa aku boleh bercerita
kepadamu tentang hatiku?" tanya suamiku. Sebenarnya aku tidak mau tau tentang
dia , hanya karena aku tidak ingin berdosa dengan suamiku dan kepada Tuhanku.
Dia menceritakan semua tentang dirinya padaku walaupun aku seabenarnya tidak
ingin tau.
"aku juga pernah merasakan
perasaan sedalam perasaanmu, aku pernah mencintai seorang perempuan, dan aku
juga pernah berniat mengkhitbahnya, tapi Allah tidak memprtemukan aku dengannya
, aku tau semua yang Allah berikan itu ialah anugarah dan terbaik, sekarang aku
tau siapa yang terbaik untukku"
Setelah menceritakan semua
padaku, dia berpamitan kepadaku untuk ke kamar mandi, dia mengambil wudhuk,
kemudian melantunkan al-Rahman di hadapanku. Sambil berkata, aku akan
mengembalikan perasaanmu seperti dulu, bagaimana kamu mencintai Syawal, seperti
itu juga aku akan mencitaimu.
Dia menerjemahkan semua isi
surah al-Rahman kepadaku, satu kalimat yang menyentuhku, nikmat tuhan mu yang
manakah yang engkau dustakan?"
tidak lama kemudian aku merasa lemas, aku ingin beristirahat, sebelum tidur,
dia mengecup kedua mataku, aku tidak berkata apa-apa. Setelah itu dia tidak
menyentuhku, dia hanya mengucapkan, semoa engkau mimpi indah. Aku pun tertidur.
Tiba waktu subuh, dia
membangunkanku, dan mengajakku shalat berjama'ah. Dia pergi ke kamar
mandi sedangkan aku masih di tempat tidurku. Akupun beranjak perlahan-lahan
"Subhanallah", apa aku bermimpi?
Aku ada dalam apa ini? Aku sudah bisa melihat lagi seperti dulu. "Alhamdulillah",
puji syukur ku kepada-Nya, kemudian aku bergeges ke depan kamar mandi untuk menunggu
suamiku. Aku ingin melihat wajahya sesempurna apa ia? Terdengar suara pintu
kamar, aku segera memalingkan wajahku ke arah suara itu. Dia menatapku, aku
tertegun melihatnya. aku tidak bisa bertkata apa-apa. Seakan darah tidak lagi mengalir di tubuhku.
Nafasku pun terasa tertahan, jantungku seakan berhenti berdetak dan jarum jam seakan
berhenti berputar. Hanya tetesan air mata yang terasa membasahi pipiku. Ketika
aku memandanginya dia pun memandangiku. Tiba-tiba aku menyebut namanya, Syawal......?
Apa aku bermimpi ya Allah..?.
Dia menghampiriku, apa kamu benar Syawal? Tanyaku pelan. Dia hanya tersenyum
dan bertanya "apa kamu bisa melihat suamimu ini?" badanku terasa
lemas, lidahku kelu tidak bisa berkata-kata. Subhanallah.....
Rintihan yang keluar dari
mulutku membuatku semakin merasakan keberadaan Syawal di dekatku
"bersyukurlah kepapa-Nya,
karena engkau telah bisa melihat lagi" mataku terasa tidak bisa berkedib,
aku terkesima menatapnya, dia menyuruhku untuk berwudhuk dan shalat
subuh berjamaah, saat shalat pun air mataku jatuh tanpa terasa
Setelah mengucapkan salam kedua,
aku mengadahkan tanganku dan berdo'a:
"subhanallah........
"subhanallah........
"subhanallah........
Lafadh pujian itu tidak
henti-hentinya ku panjatkan sambil meneteskan air mata. Aku buta atas izin-Nya
dan sekarang aku dapat melihat lagi karena izin-Nya. Karena perjuanganku
melawan rindu, Tuhan mempertemukannku dengan orang yang aku rindui...........
(Kisah ini diceritakan oleh salah seorang santriwati MUDI Mesjid Raya Aceh)